Apel Busuk, Part 10



--Priscila's POV--

Priscila termenung. Ia menatap sepasang mata cokelat di hadapanya dalam-dalam. Rasanya aneh sekarang mereka berada dalam posisi seperti ini.

Priscila sudah mengenal Nathan sejak lama. Mereka adalah teman baik. Tapi ternyata itu hanyalah anggapan Priscila saja. Pemuda itu menganggap dirinya lebih dari sekedar teman.

Gadis itu sekarang hanya bisa terpaku menatap deretan keyboard laptopnya. Ia tidak berani menatap wajah pemuda itu. Ia bingung dengan perasaanya sendiri. Ia tau Nathan pemuda yang baik. Bahkan ia adalah teman yang sangat baik. Tapi justru itulah yang membuatnya takut. Ia takut kalau nantinya malah ia yang mengecewakan Nathan. Ia tidak mau kehilangan teman terbaiknya. Tidak. Ia tidak mau.

Jalan tengahnya adalah mereka tetap berteman. Tapi itu berarti dia harus menolak Nathan. Sesuatu yang akan menyakiti hatinya. Hati yang selalu ada disisinya. Menemaninya disaat ia terpuruk rapuh.

"WOY!"

Seru seseorang tiba-tiba membuyarkan lamunanya.



Priscila menengadah. Tampak sesosok gadis berwajah Batak dengan seulas senyum di sudut bibirnya, berdiri dihadapanya.

"Reny!" seru Priscila.

"Ayo gih balik ke gedung. Bentar lagi mau pulang" ajak gadis itu seraya memegang lengan Priscila.

"Mmm.. Bentar dulu ya" pinta Priscila.

"Ok, tapi buruan" sahut Reny, lalu beranjak pergi.

Priscila kembali memandangi layar laptop. Wajah Nathan masih terpampang jelas disana.

"Nat, ntar lagi ya"

"Ntar aku video call kamu lagi. Oke!" ucap gadis itu berjanji.

Nathan tidak menjawab. Pemuda itu hanya mengangguk lemah. Mungkin tanda setuju, atau mungkin karena mengantuk.

Ah sudahlah, batin Priscila.

Ia lalu buru-buru mematikan laptop dan memasukanya kedalam tas. Sesudah itu segera berlari mengejar Reny. Ia tdk mau dihukum bu Eka, karena indisipliner.

--Nathan's POV--

Nathan termenung didepan layar. Sambungan telah terputus. Wajah gadis itu sudah menghilang dari hadapanya. Meninggalkan ia yang sepi sendiri.

Rrrr.. rrRRr..

Samar-samar terdengar raungan mesin lokomotif dari kejauhan sana. Suara raunganya makin lama terdengar makin jelas. Menyelinap diantara suara tetes air yang terlihat mulai turun.

TROOONN...

Tak lama kemudian terdengar suara sumbang klakson CC201. Membahana ke seluruh penjuru kota yang sedang terlelap. Raungan mesin tua buatan Amerika itu saling beradu dengan tetes-tetes hujan yang mulai turun membasahi bumi.

Nathan menoleh kearah peron. Tampak sekelebat bayangan melaju dengan cepatnya diatas rel. Menerobos tetes-tetes air yang menari indah dibawah terpaan sinar rembulan.

Diiringi alunan sepoi-sepoi angin malam yang menusuk tulang, hujan kemudian turun dengan derasnya. Hingga tidak terlihat apapun karena begitu deras.

Namun Nathan tidak bergeming. Ia akan tetap menunggu gadis itu menghubunginya kembali. Ia tidak mau perjuanganya berakhir tanpa hasil. Ia perlu hasil. Tak peduli hasil tersebut baik ataupun buruk.

Setelah menanti kira-kira sejam, icon skype Priscila kembali berwarna hijau. Bersamaan dengan itu, hujan nampak mulai mereda. Semenit berikutnya gadis itu kini sudah muncul di layar laptop. Kali ini ia mengenakan kaos putih dengan lambang garuda terbordir di bagian dada. Tampak begitu serasi dengan rambut panjangnya yang terurai bebas.

"Hai, malam Nat" sapa gadis itu memecah heningnya malam.

"..."

"Nat, gimana kalo kita omongin ini pas aku udah di Indonesia aja?"

"Kenapa?" tanya Nathan dengan suara sangat pelan. Wajahnya tertunduk lemas memandangi lantai porselen stasiun.

"Ya, soalnya.."

"Soalnya kenapa?" tanya Nathan seraya menatap mata Priscila. Tapi gadis itu mengelak, ia mengalihkan pandanganya.

Kini, dua insan itu hanya bisa terpaku membisu. Masing-masing larut dalam jalan pikiran sendiri. Menciptakan suasana malam yang sangat hening. Hanya tetes air hujan dari atap stasiun yang terdengar. Mengalun lembut seirama suara hembusan nafas mereka berdua.

"Kamu nolak aku?" tanya Nathan angkat suara.

"Emang aku bilang gitu tadi?"

Nathan menggeleng lemah. Gadis itu memang tidak mengatakan begitu. Tapi bagi Nathan rasanya dia menolak cinta Nathan.

"Gini Nat, aku mau fokus dulu ke lomba ini.."

"Alah, alasan" potong Nathan skeptis.

"Aku serius.."

"Emangnya ini soal ujian apa?" seru pemuda kerempeng itu balik bertanya.

"Maksudnya?"

"Ini soal perasaan. Bukan soal Fisika. Gak perlu penjabaran. Cukup ya atau tidak!" seru Nathan frustasi.

Priscila terhenyak. Nathan benar, ini bukanlah soal Fisika yang perlu waktu untuk menjawabnya. Ini urusan cinta.

"Tapi aku butuh waktu"

"Gak. Gak butuh waktu" tepis Nathan.

Suasana kembali hening. Priscila tampak menundukan kepalanya di seberang sana. Seperti tengah memikirkan sesuatu. Semenit kemudian, barulah gadis itu kembali bersuara.

"Maaf, tapi aku gak bisa.." ucap Priscila pelan.

"Gak bisa?"

"Iya aku gak bisa" ulang Priscila sambil memberanikan diri menatap kedua mata cokelat milik Nathan sesekali.

"Gak bisa apa?"

"Aku gak bisa... Gak bisa n-nolak kamu"

KYAAAAA, jerit Nathan kegirangan dalam hati.


Ini seperti mimpi yang jadi kenyataan. Priscila menerima cintanya!

"Nat?" gumam gadis itu kemudian.

"Eh, ng, apa?" sahut Nathan kikuk.

"Jadi gimana?"

"Jadi apa?"

"Kita pacaran?" tanya Priscila pelan.

"Hahaha, ya gitu lah" ucap Nathan tersenyum. Hatinya begitu berbunga-bunga.

Gadis itu balas tersenyum diujung sana. Mereka berdua lalu kembali asyik mengobrol. Namun kali ini bukan sebagai teman namun sebagai kekasih. Obrolan mereka dihiasi kata-kata romantis dari Nathan yang tengah dimabuk asmara.


*bersambung*

Artikel Lainya:

No comments:

Post a Comment

Sampaikan komentar anda disini. No SARA & Rasis. Terimakasih