--Nathan's POV--
Nathan termenung dihadapan layar televisi. Pembawa berita melaporkan keberhasilan tim Indonesia merengkuh tiga medali emas di ajang Olimpiade Sains yang diselenggarakan di Inggris. Nathan seolah tidak percaya Priscila berhasil meraih medali emas. Terselip sedikit rasa bangga dan juga senang akan keberhasilan itu. Perasaan yang sama seperti ketika ia mengalahkan penjahat bernama Muhamad Sawtang.
Drrt, drrt..
Ponsel Nathan tiba-tiba bergetar. Ada sms masuk. Nathan segera membukanya. Dari Priscila ternyata.
From: Priscilla
To: Nathan
Nanti sore aku landing di Indonesia. Jemput ya..
"Gue harus jemput ke bandara?" gumam Nathan.
Eh tapi, bagaimana dengan keluarga Priscila? Jika ayahnya gadis itu melihatnya, pasti dia akan diusir. Lagipula dia kan masih marahan. Nathan menjadi bingung. Disatu sisi dia sudah kangen berat dengan gadis imut itu. Tapi di sisi yang berlawanan, ego-nya memaksa dirinya untuk tidak datang ke bandara. Dia harus menjaga harkat dan martabatnya sebagai kaum Adam yang tengah marahan dengan pacarnya. Apalagi jika ayah Priscila tau.
Drrt, drrtt...
Tiba-tiba ponselnya kembali bergetar. Bukan. Kali ini bukan sms. Melainkan panggilan. Sebuah telpon dari Erin, kakaknya Priscila.
"Halo"
"Oy Nat. Lu ntar sore dateng gak jemput Cila?" tanya suara diujung sana.
"Gak tau kak" sahut Nathan ragu.
"Loh, kok?"
"Kalian marahan yahh?"
"Eh, n-nggak kok kak.." jawab Nathan terbata.
"Trus?"
"Emm.. Nanti takutnya ayahnya Pris.."
"Hahaha"
Nathan terpelongo mendengar tawa Erin. Bukanya empati, dia malah ketawa.
"Kamu kan pacarnya. Masa gitu aja takut? Perjuangin donk.."
"Hah! Pacar!?" Nathan terperanjak. Darimana Erin tau kalau dia dan Priscila pacaran.
"Kamu gak usah bingung gittu. Priscila udah cerita kok"
"Ohh" sahut Nathan datar.
"Jadi gimana?"
"Apanya yang gimana?" Nathan balik bertanya.
"Kamu ikut gak ke bandara?" seru Erin.
"Ah, i-iya nanti d-dateng kokk.."
"Bener?"
"Ho'oh"
"Oke. Bye"
Tilt.
Sambungan telpon pun terputus. Nathan menghela napas panjang. Cinta harus diperjuangkan, karena cinta butuh pengorbanan. Tapi apakah memang dia harus melakukan ini semua? Dia mungkin bisa mengalah dan menurunkan ego-nya demi bertemu gadis itu. Tapi ayah Priscila? Apa yang bisa dia perbuat jika harus berhadapan denganya.
BUK, BUK
Nathan mematikan televisi dan segera keluar dari mess pegawai. Nampak tong-tong kayu bergelindingan sepanjang jalur tiga. Sementara diujung jalur tampak bergandengan lok langsir yang baru, dimana tentu saja bukan Simbah, dengan sebiji GD.
"Napa nih?" tanya Nathan kepada Budi yang tengah berjongkok di pinggir peron menikmati sebatang rokok.
"Ikatanya kendor" sahut Dody yang berdiri dekat tong kayu.
"Kok bisa?" tanya Nathan.
"Kurang makan kali yang ngiket" sahut Dody ngasal.
"Hahaha" Budi terngakak-ngakak mendengar lelucon garing Dody.
Nathan melongokkan kepalanya ke dalam tong kayu berdiameter sekitar setengah meter. Tidak ada apa-apa disana.
"Ini tong buat apa?"
"Buat nadah sperma. Bruakakakak.."
"Hush. Ngasal aja lu Dod. Ini buat nyelundupin ganja. Wkwkwk.." celoteh Hartono lebih ngasal.
Tak lama kemudian. Seorang kru outsourching datang dan membereskan tong-tong kayu yang berserakan.
TOOOTTT..
Nathan membunyikan S35 panjang, membalas S40, S41 yang diberikan PPKA Merah. KA 401 pun berangkat meninggalkan stasiun Merah. Dinasan kali ini sebagai KA lokal Manis Merah tujuan akhir stasiun Sidopoto. Tanpa disadari Nathan, dia sudah hampir seminggu berdinas di lintas Sidopoto-Merah. Dan masih belum ada tanda-tanda dia akan "dipulangkan" ke stasiun Wijen tercinta. Tapi sudahlah, toh dia tidak bisa mengubah kebijakan ini.
"Kamu jadi kan Nat?" chat Erin di Whatsapp.
"Iya" balas Nathan singkat.
Sehabis berdinas kereta laknat ini, Nathan sudah bersumpah akan langsung naik bus cepat ke bandara.
--Priscila's POV--
“Cila..” teriak seseorang.
Priscila segera mengenali suara ini. Pasti kakaknya. Cila adalah panggilan Priscila di rumah. Priscila mencari sumber suara tersebut dan ternyata benar, itu kak Erin dan disana lengkap dengan ayah, ibu Priscila dan juga Naya. Priscila memeluk erat kedua orangtuanya dengan erat sekali. Air matanya mengalir deras karena bahagia.
"Selamat ya Pris" ucap Naya tersenyum.
Priscila mengangguk senang. Entah kenapa, dia merasa da yang berbeda di diri Naya.
"Oke, kita langsung je ballroom aja dulu. Maaf nih ganggu" sela seorang passenger service.
Priscila dan keluarganya, juga Naya menuju ballroom. Disana akan diselenggarakan sedikit upacara untuk menyambut kedatangan kontingen Olimpiade Sains. Setibanya di ruangan, nampak sudah penuh dengan wartawan dan kerabat dari para peserta. Priscila bertemu sejumlah temanya dari kampus. Tapi dia tidak melihat Nathan. Priscila melongok kasana kemari mencari pemuda itu.
"Saya ucapkan selamat datang kepada.. bla bla bla"
Priscila malas mendengar kata sambutan yang berderet-deret dari para pejabat Kementerian Pendidikan. Kepalanya benar-benar pusing sekali. Selain karena selama ber jam-jam perjalan juga karena zona waktu Indonesia dan London yang berbeda cukup jauh. Priscila bahkan sudah tidak peduli lagi jam berapa sekarang. Dia hanya ingin sampai dirumah dan istirahat.
“Kita pulang aja. Kayaknya kamu udah pusing banget” ajak kak Erin melihat Priscila agak pucat.
"Bentar lagi kak"
"Mau dengerin pidato?" tanya kak Erin dengan nada mengejek.
Priscila mengangguk. Dia malu menyatakan alasan sebenarnya bertahan di acara membosankan ini karena dia belum melihat Nathan, Lagipula ayahnya tengah asyik mengobrol dengan pejabat Kementerian Pendidikan.
“Boneka itu dari siapa? Niall?” tanya Naya.
Priscila mengangguk. Naya tidak berkata apa-apa lagi. Dia merasa ada yang aneh pada temanya.
"Baik, dengan upacara penyambutan sederhana ini semoga.. bla, bla"
Prok, prok, prok.
Sejam kemudian acara penyambutan itu berakhir. Dengan berkalungkan karangan bunga dan cinderamata, para peserta Olimpiade Sains kembali ke rumah masing-masing.
"Ayo Pris" ajak ibu Priscila.
Dengan berat hati, Priscila meninggalkan ballroom bandara. Dia masih rela menunggu Nathan lebih lama lagi. Tapi kepalanya sudah sangat berat. Dia benar-benar exhausted.
"Maaf ya Pris" kata Kak Erin ketika mereka berada di mobil.
"Kakak udah nelpon dia. Katanya mau datang, tapi.."
"Sshh.. udah. Ini bukan salah kakak juga" ucap Naya angkat suara.
Priscila termangu. Dia benar-benar bingung apa yang tengah terjadi. Nathan, pacarnya, tidak datang menjemputnya. Dan Naya bersikap aneh. Biasanya Naya paling mendukung urusan cintanya dengan Nathan.
"Kalian ngomong apa sih?" tanya ayah Priscila.
"Eh, nggak kok pa. Gak apa-apa" jawab Erin kalem.
Hufth, untung saja, bati Priscila. Bisa gawat urusanya kalau sampai ayah tau dia pacaran dengan Nathan.
“Om, saya turun disini aja” kata Naya pada ayah Priscila. Priscila dan Kak Erin memandang Naya dengan tatapan bingung.
“Itu depan rumah aku. Lagian kamu butuh istirahat aku gak mau ganggu kamu” kata Naya.
Priscila mengangguk dan tersenyum. Ayah Priscila memberhentikan mobilnya.
"Makasih om" ucap Naya melambaikan tanganya.
Teng, nong, neng, nong..
Palang turun perlahan. Merintangi jalan dari para penerobos liar. Tak lama kemudian melintas langsung kereta dengan kecepatan tinggi.
HOOEENKSSS..
"Ah, kereta api" gumam Priscila. Dia sudah lama merindukan suara decitan rel yang beradu roda-roda besi seperti ini.
Sepuluh menit kemudian, Priscila sudah tiba di rumah tercintanya. Dia merebahkan dirinya di sofa ruang tamu. Sudah lama dia tidak tidur disini. Udara hangat Sosrowijen yang benar-benar dia dambakan, akhirnya bisa dia nikmati lagi. Priscila melihat keseliling kamarnya. Tidak ada yang berubah. Masih sama dengan dulu. Kecuali keberadaan Nathan.
*bersambung*
No comments:
Post a Comment
Sampaikan komentar anda disini. No SARA & Rasis. Terimakasih