Apel Busuk, Part 15



"So, what will your answer to me?" tanya Nathan lagi. Kali ini dengan penuh amarah.

Kalau saja Niall ada didepanya, dia pasti sudah habis dicabik-cabik oleh Nathan. Tidak peduli nama depan mereka sama-sama Nathan, atau bahkan fakta kalau bule itu memiliki nama belakang Conan yang mirip serial anime favoritnya, Meitantei Conan alias Detective Conan. Dia tidak mau tau. Urusan cinta memang tidak kenal kompromi. Termasuk dalam kasus dirinya.

"I'm sorry pals. But, it's not like your imaginations. I never touch her" jelas Niall.

"Whatever! Come here, and I'll cut off your dick!" maki Nathan emosi.

"What the heck.."

Tut, tut, tut

Nathan seketika mematikan sambungan teleponya. Niall hanya termangu di hadapan layar ponsel iPhone 6 mahal miliknya. Ancaman pemuda itu membuatnya bergidik ngeri. Tapi lebih daripada itu, dia benar-benar merasa bersalah sekali sekarang. Apa ia harus membatalkan tur ke Amerika dan pergi ke Indonesia untuk bertemu pemuda bernama Nathan itu untuk meminta maaf?

--Nathan's POV--

Nathan mengasah golok legendaris milik temanya, Kang Agus. Dia benar-benar sudah kalap. Jika bule itu benar-benar datang ke Indonesia, Nathan sudah mempersiapkan kematianya. Terdengar ngeri memang, tapi Nathan benar-benar dibakar api cemburu.

Trett, tott, toot

Srenggg...

"Kambingg!" maki Nathan.

Sebuah truk pengangkut pasir nyaris menghantam tubuhnya. Beruntung masih meleset beberapa senti.

Sekumpulan warga langsung mendatangi Nathan yang tertelungkup meringis kesakitan.

"Woy, woy, tolongin tolongin"

"Tolong panggil ambulans" perintah seoran bapak berkopiah. Mungkin dikiranya pemuda kurus itu tinggallah sebongkah daging tak bernyawa.

"Hei, tunggu tunggu" cegah seseorang.

"Dia masih hidup"

"Ayo bawa ke klinik"

Sayup-sayup Nathan mendengar suara-suara berdengung di sekitarnya. Ia mencoba memfokuskan kekuatanya, kemudian bangkit berdiri.

"Saya gak apa-apa"

"Tapi tanganmu berdarah" ucap seorang ibu-ibu kasihan.

"Ayo ke klinik dulu"

"Udah, ayo bawa cepat"

Sepotong tangan kekar bagai batang pohon jati menyentak tubuh lunglai Nathan. Ia hanya bisa pasrah dimasukkan keatas mobil pick up menuju klinik terdekat.

--Priscilla's POV--

Priscila termenung di hadapan layar laptop. Sebentar lagi giliran tim dia presentasi kedepan. Tapi ia tidak bisa konsentrasi karena masih memikirkan masalahnya dengan Nathan (lihat part 13 -red). Ia masih menyesali kebodohanya melupakan ponselnya yang ketinggalan di taman. Tapi Nathan juga keterlaluan, batinya coba membela diri. Nathan seharusnya percaya kepada penjelasanya. Nathan harusnya sadar kalau selama ini dirinya tidak pernah bohong kepadanya sekalipun.

"Pris, bentar lagi kita tampil"

Priscila menoleh, tampak Lina, teman satu timnya tengah tersenyum kearahnya. Priscila mengangguk lemah sambil sesekali menyeka air matanya yang tanpa sadar mulai menetes. Ia berharap bisa memberikan yang terbaik.

--Nathan's POV--

Nathan terbengong di hadapan polisi. Didepanya tampak sebilah golok tajam tergeletak diatas meja. Ternyata selama dirawat di klinik, golok milik Kang Agus, temanya sudah berpindah tangan kepada polisi. Sekarang ia harus berhadapan dengan seoran penyidik perempuan yang ditemani temanya berpangkat Bripda.

"Ini apa?"

"Golok pak" sahut Nathan pura-pura bego.

"Iya saya tau ini golok! Siapa bilang sate kambing!" hardik polisi disebelahnya.

"Hehehe" Nathan cengengesan.

"Buat apa golok ini?"

"Buat nodong pasti ya?" sergah penyidik dihadapanya.

"Mmm.. Buat motong kambing pak eh bu. Ini punya teman saya" elak Nathan.

"Yakin?" tanya penyidik perempuan itu dengan menyipitkan matanya yang sudah sipit.

Mata Nathan merem melek ditatap sinis begitu. Ia sudah membayangkan dirinya direndam dalam kolam penuh lintah agar mengaku.

"Siapa nama temanmu?" tanya Bripda disebelah Nathan.

"Kang Agus pak"

"Dimana alamatnya?"

"Mmm.." Nathan ragu memberitahu. Dia merasa kurang enak membuat Kang Agus terbawa-bawa dalam masalah ini.

"Kenapa diam kamu?"

"JAWABB!!!" bentak sang Bripda.

--Priscila's POV--

Priscila tergagu menjawab satu-persatu pertanyaan yang dilontarkan tim penilai usai presentasi mereka. Beruntung, Lina dan Reny dengan sigap mengcover kekurangan jawaban yang diberikan Priscila. Namun tetap saja tidak bisa membawa mereka mengantungi angka penuh. Dan benar saja. Begitu turun dari panggung dan melihat layar raksasa, mereka mendapati penampilan mereka hanya dinilai 70 dari maksimal 100 oleh tim penilai.

"Kamu gimana sih?" bentak Bu Eka kesal.

"Maaf bu"

"Kita bisa kalah kalau begini!"

Priscila hanya menunduk sedih. Kedua temanya mencoba menenangkan Priscila.

"Udah bu, mungkin dia lagi kelelahan aja" sela anggota tim yang lain.

"Iya bu. Lagian dia kan udah berusaha maksimal" seru anggota lainya membela Priscila.

Priscila tidak menyahut untuk membela diri. Karena memang tidak ada yang perlu dibela. Dirinya bersalah dalam kasus ini. Dan ini semua bermula dari kecerobohannya meninggalkan ponselnya di taman.

Ah, Nathan. Kenapa semua ini terasa semakin menyakitkan. Apa salahnya percaya kepada aku, pacarmu ini, gumam Priscila. Untuk pertama kalinya ia merasa tidak berguna dalam kehidupan yang fana ini. Ia ingin segera pulang ke Indonesia dan menyelesaikan ini semua.

--Nathan's POV--

"Baik dari hasil penyidikan, ternyata dia tidak bersalah" ucap sang Bripda sesaat setelah memasuki ruangan.

"Sudah mas Edo konfirmasi ke temanya?"

"Ya. Tadi saya sudah ke rumahnya dan menanyai pembantunya dengan menyamar sebagai tukang ojek. Golok tersebut memang dipinjam buat motong kambing"

Hufthh, Nathan menghela napas lega.

Untung saja Bripda ini menyamar saat mendatangi rumah Kang Agus dan tidak pakai seragam. Kalau tidak juragan gas elpiji itu bakal kena gossip ibu-ibu pengajian. Dan hubungan bilateral mereka berdua rusak.

"Oke kamu saya lepas. Tapi wajib lapor sekali seminggu selama sebulan"

"Oh, oh. Iya pak, eh bu"

Nathan kemudian bergegas meninggalkan ruangan penyidikan yang sempit itu. Sempat berkelebat bayangan dirinya sewaktu di integorasi KNKT dalam kasus PLH Wijen.

"Terimakasih pak Edward atas bantuanya" ucap penyidik perempuan itu kepada si Bripda.

"Sama-sama bu"

Hah Edward? Nathan tersentak.

"Nama bapak Edward?" tanya Nathan mengurungkan niatnya segera menghirup udara segar.

"Iya. Emang napa?"

"Maaf pak. Nama lengkapnya Edward siapa?"

"Memang kenapa?" senggak Bripda itu kesal.

"Eh. Nggak pak, maaf. Kirain Edward.."

"Edward siapa?" tanya penyidik perempuan keheranan.

"Emm.. nggak, bu. Hehehe" Nathan cengengesan lagi.

"Ah ya udah! Nama saya Edward Santoso. Yaudah sono pergi!"

"I-iya pak" ucap Nathan seraya ngeloyor pergi.

Edward? Edward Santoso? Tunggu sebentar, jangan-jangan dia Edward mantan pacarnya Priscila yang telah lama hilang! Nathan tersentak.

*bersambung*

Artikel Lainya:

No comments:

Post a Comment

Sampaikan komentar anda disini. No SARA & Rasis. Terimakasih