--Priscila's POV--
Mentari pagi yg indah menerobos kabut tipis diseputaran alun alun kota Norwich. Terlihat beberapa petugas sibuk menurunkan spanduk dan banner yang terpampang hampir di segala penjuru gedung. Tanda berakhirnya kegiatan perlombaan Olimpiade Sains di kota itu.
Sementara nun jauh diseberang sana, di hotel tempat tim garuda menginap, tengah terjadi kesibukan yang luarbiasa. Para anggota tim merah putih sedang sibuk mengemasi barang bawaan mereka. Pagi ini, mereka akan bertolak kembali ke kota London untuk melakoni laga semifinal.
Sesuai pengumuman yang dirilis panita tadi pagi, 5 dari 8 cabang perlombaan yg diikuti berhasil menapakkan kaki di babak semifinal. Yaitu cabang Matematika, Kimia, Astronomi dan Astrofisika, Kebumian, serta Linguistik. Sementara cabang Biologi dan cabang Fisika harus mengubur mimpi mereka untuk melangkah lebih jauh. Mereka akan kembali ke tanah air sore nanti. Menyusul cabang Informatika yang telah angkat koper lebih awal usai terkapar memilukan di fase penyisihan.
"Halo Nay" sapa Priscila begitu panggilan terhubung.
"Iya. Kenapa Pris?"
"Gue mau cerita nih.."
"Cerita apa?" tanya Naya, "emang lu lagi dimana?"
"Gue lagi ngegalau ini di bis" sahut Priscila.
"Di bis? Mau kemana?"
"Mau ke London"
"Berarti Indonesia lolos ke final dong?" tanya Naya dengan nada gembira.
"Baru semifinal, tapi Puji Tuhan kita berhasil ngirim 5 cabang"
"Wow, congrats yoo.. Gue bangga ama lu" ucap Naya senang.
"Ah, hahaha. Makasih" sahut Priscila dengan tawa sedikit dipaksakan.
"Eh iya tadi Nathan cerita.."
"Cerita apa?"
"Katanya lu berdua jadian ya?" tanya Naya dengan nada serius.
"Ya gitu deh"
"Oh.." ucap Naya datar.
"Mmm.." gumam Priscila canggung. Merasa aneh dengan respon sahabatnya barusan. Biasanya Naya anaknya suka heboh sendiri.
"Emang sebenarnya perasaan lu gimana sih ke dia?" tanya Naya kemudian.
Priscila mengangkat bahu lemah. Tapi ia sadar Naya tidak mungkin melihatnya.
"Mungkin.."
"Mungkin apa?"
"Mungkin gue juga suka sama dia" kata Priscila pelan.
"Trus Edward?"
"Edward" ucap Priscila pelan. Hatinya terasa perih setiap mendengar nama itu.
Ia tau siapa yang dimaksud Naya. Edward adalah mantan pacarnya. Ia berpacaran dengan pemuda yang bekerja sebagai polisi intel itu sejak 6 bulan yang lalu. Tapi selama mereka berpacaran, ia hanya dua kali bertemu Edward. Sesudah itu pemuda jangkung tersebut menghilang bagai ditelan bumi. Jadi sebenarnya secara teoritis mereka masih berpacaran. Namun karena keberadaanya yang tidak jelas, Priscila merasa jenuh dan akhirnya enggan menganggap Edward sebagai pacarnya lagi. Ia sudah memutuskan melupakan segala sesuatu mengenai Edward.
Tapi sekarang Naya datang dengan pertanyaanya itu. Sebuah pertanyaan yang seolah tidak ada jawabanya. Pertanyaan yang mengungkit luka lamanya.
"Pris, jawab" desak Naya.
"Gue gak tau Nay" ucap Priscila pelan. Tetes air mata tampak mulai menggenangi pelupuk matanya.
"Lu harus jawab!" kata Naya dengan sedikit membentak, "pilih Edward atau Nathan?"
Priscila tidak menjawab. Dia bingung dgn perasaanya sendiri.
"Yaudah lah, gue matiin aja ini telepon"
"Nay, tunggu Nay" cegah Priscila.
"Yes ancaman gue berhasil, hahaha" gumam Naya tertawa puas.
"Apa?"
"Gak, gak. Udah lu cerita aja"
"Oke gue cerita.."
Priscila lalu mulai menceritakan perasaannya pada Naya. Priscila menceritakan perasaannya yg tidak berubah pada Nathan, tetap sebagai teman. Tapi belakangan ini mulai bergeser. Bukan sekedar teman biasa lagi. Sebagai contoh, jika Priscila bersama Edward, ia merasa senang, tetapi jika tidak perasaannya biasa saja. Beda dengan Nathan. Nathan tidak membalas pesan atau mengangkat teleponya saja. Ia sudah uring-uringan.
"Hmm.. complicated" simpul Naya di ujung curhat Priscila.
"Trus gimana dong?"
"Believe in what you feel inside.."
"Mmm.." gumam Priscila bingung.
"Mungkin udah waktunya lu beneran move on deh.." saran Naya kemudian.
"Dengan Nathan?"
"Iya. Cintai dia dengan sepenuh hati, bukan sebagai teman atau bahkan sebagai pelarian"
Priscila terdiam. Kata-kata temanya yang satu itu ada benarnya. Dia harus move on. Nathan pantas dicintai. Apalagi setelah semua yang mereka alami.
"Oke Nay, gue janji bakal mencintai Nathan setulus mungkin" ucap Priscila dengan suara mantap.
"Jangan janji ama gue. Janji ama hati lu sendiri" tukas Naya.
"Iya deh"
"Oh iya, trus Niall?"
"N-niall?" Priscila balik bertanya.
"Itu yang lu ceritain ketemu di bandara"
"Oh Niall. Dia mah cuma idola gue doang" sahut Priscila enteng.
"Tapi lu harus hati-hati" kata Naya, "kayaknya dia suka ama lu"
"Hahaha. Sok tau"
"Yee, dibilangin gak mau"
"Tenang aja. Kalaupun dia suka, pasti gue tolak" jawab Priscila mantap. Hatinya sudah bulat hanya untuk Nathan saja.
"Nolak artis?"
"Yup!"
"Oh.. asal lu kuat iman aja, wkwk" goda Naya.
"Hahaha"
Tanpa terasa bus carteran yg ditumpangi Priscila dan rekan-rekanya sudah tiba di kota London. Tepat di depan wisma KBRI di Grosvenor. Kedua sahabat itupun mengakhiri pembicaraan.
Setibanya di wisma, tim merah putih dipersilahkan untuk beristirahat sejenak. Karena hari ini mereka tidak ada jadwal apapun. Partai semifinal baru dilangsungkan besok pagi.
Priscila duduk di pinggir ranjang. Ia membuka ponselnya, ternyata baru pukul 11.00. Priscila lalu menelepon Nathan. Pastilah di Indonesia hari masih sore. Dan pemuda itu tidak mungkin tidur sore-sore.
"Halo"
"Halo" sahut Nathan riang. Suaranya nyaris tak terdengar, ditelan deruman mesin lok yang meraung-raung.
"Nat, kamu lagi dimana?" tanya Priscila
"Dihatimu, wkwk" canda Nathan.
"Ih gombal. Eh, ngomong-ngomong aku ganggu gak?"
"Nggak kok. Gak ganggu kok" sahut Nathan diiringi raungan parau klakson lokomotif.
"Kamu lagi dines ya?"
"I-iya"
"Berarti gangguin lah"
"Hehhe, iya sih sebenarnya" kata Nathan cengengesan.
"Oh yaudah deh. Aku cuma mau ngasih tau, kalo Indonesia lolos ke semifinal"
"Wow!" seru Nathan dengan nada takjub.
"Aku bangga deh sama kamu" sambungnya lagi memuji.
Priscila tersenyum mendengarnya. Ia merasa sangat senang setiap kali Nathan memujinya.
"Aku juga bangga kok sama kamu"
"Ah, berjanda kamu"
"Berjanda?"
"Bercanda maksudnya, wkwk" tawa Nathan.
"Hahaha"
"Emang apanya yang dibanggain coba?" tanya Nathan heran.
"Ya karena kamu.."
"Juru langsir" sambung Nathan asal.
"Mmm, iya sih juru langsir. Tapi kamu itu baik. Baik banget malah"
"Baik apanya?"
"Ya baik semuanya. Kalo gak baik, kenapa aku suka kamu?" goda Priscila.
"Ya mungkin karena aku ganteng kali, wkwk" celetuk Nathan diikuti tawa khasnya.
"Dih. Kamu gak ganteng tau. Jelek. Jelek banget malah"
"Huhuhu. Masa?" ejek Nathan.
"Iya, hahaha"
"Eh, kamu kapan pulangnya sih?"
"Paling minggu depan. Kenapa, kangen ya?" kali ini giliran Priscila balas menggoda Nathan.
"Nggak ah"
"Oh gitu.. Aku ngambek nih"
"Ngambek aja, hahaha" sahut Nathan terpingkal-pingkal.
"Tapi beneran ntar aku belain deh jemput kamu" sambung Nathan usai tawanya mereda.
"Beneran ya?"
"Iya bener"
Keduanya lalu larut mengobrol ngalor-ngidul. Walaupun obrolanya terkadang ngawur dan gak jelas, tapi Priscila menikmatinya. Ia sangat senang bisa menghabiskan waktu dengan mengobrol dan bercanda tawa bersama Nathan.
"Eh Nat, udah dulu ya"
"Kenapa?"
"Aku lupa. Bentar lagi mau ada briefing dari tim KBRI"
"Oh, oke"
"Bye"
"Bye"
Tit. Sambungan pun terputus.
Priscila bergegas menuju ruang serbaguna KBRI. Disana sudah berkumpul seluruh anggota tim merah putih, termasuk guru pembimbing. Mereka akan melepas 6 orang anggota tim pulang ke tanah air. Mereka adalah kontestan cabang Biologi dan Fisika yang telah tersingkir.
Dalam hati kecilnya, Priscila berharap ia termasuk kedalam rombongan yang pulang ke tanah air itu. Ia iri dengan keenam temanya itu yg akan segera berkumpul bersama teman dan keluarga. Tapi sudahlah tiga hari atau paling lama empat hari lagi Olimpiade ini berakhir. Ia sudah tidak tahan ingin berkumpul dengan keluarga tercinta di Indonesia. Terutama dengan Nathan, pacarnya.
--Nathan's POV--
Jam menunjukkan pukul 16.00, Nathan duduk terkantuk-kantuk di K3-1 KA lokal Manis Merah. Beruntung tadi Priscila menelepon. Lumayan sambil menunggu Budi, temanya, mengisi HSD lokomotif dinasan mereka di subdipo. Ia sudah empat kali bolak-balik Sidopoto-Merah hari ini. Dan sekarang adalah dinasan terakhirnya hari ini. KA 401 tujuan akhir stasiun Sidopoto.
TROOOTT..
Tiba-tiba terdengar S35 panjang mirip truk tronton menggema di seantero stasiun. Nathan menoleh dari balik kaca permanen K3. Tampak rangkaian KA Semen ditarik lokomotif CC201-45 berjalan langsung di jalur 4 dengan gagahnya.
Tak beberapa lama kemudian, akhirnya lok dinasan pun datang. Ditunggangi oleh Budi, lok CC204-05 Dipo Induk Yeka yang baru siap SPA, memasuki emplasemen stasiun.
Nathan lalu masuk kedalam lok, menghampiri Budi. Masinis veteran itu baru saja menghabiskan sebatang rokok. Tentu saja dengan style yang sudah jadi ciri khasnya. Yaitu selalu membuka tiga atau empat kancing bajunya paling atas. Tujuan cukup mulia, untuk memamerkan bulu dada kebanggaanya. Pria asli Tegal itu selalu menganggap bulu dada adalah lambang kejantanan. Dan menganggap cemen laki-laki yang tak punya bulu dada. Nathan adalah salah satu korban favorit bullying Dody. Tentu saja karena dada halusnya yang tak berbulu.
10 menit kemudian. Setelah dirangkaikan dan uji rem selesai, KA 401 pun siap diberangkatkan.
HOENKK..
Nathan membunyikan S35 panjang, membalas S40, S41 yang diberikan PPKA Merah. KA 401 pun berangkat meninggalkan stasiun. Namun baru bergerak beberapa meter mereka dikejutkan suara keras.
BRRUUKKK!!
Kereta yang dibawanya pun bergoncang hebat. Seperti ada yang menabrak!
"Rem rem! Rem!" seru Nathan panik.
CITTT, CIITT..
Budi segera mengerem darurat. Rangkaian pun bergoncang hebat akibat berhenti mendadak.
Nathan keluar untuk mengecek. Tampak K3 paling belakang ringsek tidak karuan. Sementara disebelahnya lok lori teronggok tak berdaya. Ternyata rangkaian KA Lokal Manis Merah ditabrak TMC Hokoriku dari belakang.
"Haduh kenapa sial mulu selam dinasan di lintas ini sih" gerutu Nathan.
Bayang-bayang PLH Wijen masih membekas di kepalanya. Suara benturan dan jeritan menyayat hati masih terngiang jelas.
*bersambung*
No comments:
Post a Comment
Sampaikan komentar anda disini. No SARA & Rasis. Terimakasih