--Nathan's POV--
"Anjrit!" maki Nathan.
"Nape lu?" tanya Dodi, masinis Sidopoto yg tidur sekamar denganya.
"Wi-fi lenyap" jawab Nathan panik.
"Sekarang kan udah jam 12 malam. Wi-fi disini emang biasa dimatiin jam segitu.."
"Loh, kenapa?" tanya Nathan heran.
"Biar anak-anak pada tidur. Gak streaming bokep mulu"
"Njirr.."
"Emang lu ngapain sih?" tanya Dodi penasaran.
"Skype-an bro"
"Lah, gak dines apa besok?"
"Dines sih, KA 377"
"Bah, itu kan KA lokal paling subuh. Mending lu tidur gih, entar kenapa-napa lagi pas dines"
"Iya bentar lagi deh. Tanggung" sahut Nathan seraya ngeloyor pergi keluar kamar.
Menit berikutnya Nathan sudah berada di jalan menuju stasiun Merah. Stasiun sebesar itu pasti punya wi-fi, pikirnya. Dia tidak ambil pusing kalau hari sudah larut malam dan besok harus dinas subuh. Yang penting dia bisa skype-an dengan Priscila. Rasa kangenya sudah tidak terbendung.Tak lama kemudian, Nathan sudah sampai di stasiun. Suasana nampak sepi dan sedikit mencekam di stasiun penuh sejarah itu. Namun Nathan mengabaikanya, ia tetap melangkah masuk.
"Selamat malam. Ada apa mas?" tanya seorang Polsuska melihat Nathan memasuki areal stasiun.
"Hmm, ada barang ketinggalan" jawab Nathan asal.
"Dimana? Bisa saya bantu?"
"Gak usah deh.." tolak Nathan.
Nathan lalu menuju ruang tunggu. Ada beberapa orang disana. Mungkin sedang menunggu kereta. Nathan segera mengambil tempat duduk didekat loket. Disebelah seorang pemuda yang tengah asyik membaca e-book di laptopnya. Kemudian ia menyalakan laptop Naya.
Teng!
Ternyata dugaanya benar. Di stasiun Merah ada wi-finya.
"Baca apa mas?" tanya Nathan basa-basi ke pemuda disebelahnya.
"Apel busuk mas"
"Apel busuk?" ulang Nathan.
"Iya" sahut pemuda itu.
"Ceritanya seru loh. Menceritakan seorang masinis yang tewas saat bertugas.."
"Eh?"
"Iya. Jadi sebenarnya dia itu cinta sama cewek. Tapi malu menyatakanya. Sampai dia tewas, cintanya gak pernah disampaikan"
"Sedih amat" gumam Nathan.
"Makanya mas, kalo punya cinta jangan dipendam. Nyatain aja. Urusan ditolak mah belakangan.."
"Hmm"
"Kenapa mas?"
"Ngakk" Nathan menggeleng.
Kok bisa-bisanya plot twist cerita itu sama dengan kisah cinta gue ya, batin Nathan.
Malu menyatakan cinta sama cewek yang dicintai. Apa jangan-jangan sampai gue mati nanti, gue gak berani nembak Priscila ya?
"Mas, mas. Kok bengong?" tegur pemuda itu.
"Eh, ng.."
"Mas mau baca bukunya gak?"
"Gak ah. Makasih" tolak Nathan.
Tak lama kemudian KA Kebo Wong datang, pemuda itu bersama seluruh penumpang di ruang tunggu segera naik kedalam rangkaian.
Tinggalah Nathan yang termenung sendiri di ruang tunggu. Ia berpikir, kata-kata pemuda itu mungkin benar. Dia tidak boleh memendam perasaan cintanya. Apalagi dibawa sampai mati. Ia harus menyatakanya. Urusan diterima atau ditolak, soal belakangan.
"Mas, mas sendiri aja?" tanya seorang cewek tiba-tiba.
Nathan menoleh. Tampak sesosok makhluk dengan senyum genit berdiri dihadapanya.
Bodynya bohai sadis seperti gitar Spanyol! Bibirnya indah mempesona. Siapapun yang melihatnya pasti terngaceng. Apalagi make-up setebal kulit badak yang dipakainya. Menjadikanya semakin mirip artis papan atas.
"Kenapa?" tanya Nathan.
"Gak loh, kalo mas butuh aku, panggil aja ya. Namaku Lala" ujar cewek itu dengan suara menggoda.
Anjrit. Angker amat ini tempat. Baru sebentar nongkrong udah digodain aja ama lonte (pelacur -red). Bisa hilang nih perjaka gue, maki Nathan dalam hati.
Beruntung tak lama kemudian Polsuska datang dan mengusir cewek itu. Nathan bisa bernafas dengan tenang sekarang.
Nathan lalu membuat akun skype. Karena sebelumnya dia belum pernah punya akun skype. Semua berjalan lancar, namun ketika akan mengonfirmasi akunya, ia malah lupa password emailnya. Pasti karena sudah kelamaan tidak buka email, jadinya lupa.
Drrt, drrt..
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada sms masuk dari Priscila.
Mana? Katanya mau skypean?
Aduh gawat, rutuk Nathan dalam hati.
Gadis itu pasti sudah marah sekarang. Nathan segera berpikir keras. Memaksa otaknya mengingat-ingat password email yang dibuatnya setahun lalu. Pasti password itu mengandung kata-kata atau angka yang familiar. Mungkin tanggal lahir, atau nama buah kesukaan, atau mungkin juga kota kelahiran atau bahkan nomer kolor. Nathan mulai mencoba satu-persatu.
Tapi semuanya salah. Tulisan 'password not correct' tetap terpampang.
ARGGH, geram Nathan emosi.
Ia sudah hilang pengharapan dan mau bunuh diri. Tapi gak berani.
Drrt, drrt..
Ponselnya bergetar kembali. Ada sms masuk. Dengan takut ia membacanya. Untunglah, kali ini dari pak Ujang,
Nat, simbah apa kabar?
"Simbah" gumam Nathan.
Tunggu dulu, sepertinya itu..
Itu dia! Simbah! Password emailnya adalah simbah!
Dengan cepat Nathan mengetik password emailnya. Lalu mengonfirmasi akun skype yang baru saja dibuatnya.
"Yeah" seru Nathan riang setelah mengadd akun skype Priscila.
"Sekarang tinggal video call" ucap Nathan sambil mengarahkan pointer ke tab 'ask for call'.
Klik!
--Priscila's POV--
Setelah sekian lama duduk manis menunggu. Akhirnya muncul juga panggilan masuk dari Nathan. Priscila pun segera menjawabnya.
"Hai" sapa Nathan begitu panggilan tersambung. Lengkap dengan senyum khasnya.
"Hai juga" balas Priscila gugup. Entah mengapa, Nathan terlihat begitu tampan. Padahal biasanya hancur kayak adonan bacem.
"Kamu apa kabar?" tanya Nathan.
"Baik. Eh, tumben ngomongnya pake kamu-kamuan!?"
"Hahaha" Nathan tersipu malu.
"Gak lagi dinas Nat?"
"Nggak ah. Buktinya kenapa kita skype-an" sahut Nathan.
"Tapi itu masih pake baju dinas" ucap Priscila sambil menunjuk kearah seragam Nathan.
"Oh iya, hahaha" Nathan baru sadar kalau dia masih memakai seragam R6 lengkap.
"Abis pulang dines ini"
"Capek ya?"
"Iya. Tapi begitu ngelihat kamu. Capeknya langsung ilang.."
"Dih gombal, hahaha" Priscila tertawa mendengarnya.
"Gimana enak di Englen?" tanya Nathan.
Priscila tersenyum. Ia lalu menceritakan dengan semangat pengalamanya selama di Inggris, seluk-beluk setiap kota yang ia datangi, orang-orangnya, perlombaan yang diikuti, termasuk ketika ia bertemu Niall Korran, idolanya. Nathan hanya manggut-manggut mendengarkanya.
"Aku seneng banget di sini. Impianku tercapai" ucap Priscila antusias.
"Oh" respon Nathan tak bersemangat.
"Kenapa Nat? Oh iya kamu apa kabar?"
Nathan tidak menjawab. Ia hanya diam seribu bahasa. Ekspresi cerianya di awal percakapan menguap hilang begitu saja.
"Kenapa, kok gak dijawab?" tanya Priscila heran.
"Gak tau. Gak ada kamu rasanya jadi beda. Aneh banget"
Loh, kok dia tiba-tiba jadi serius begini, batin Priscila.
"Kamu nggak kangen aku ya? Padahal aku kangen kamu banget" tanya Nathan pelan. Raut wajahnya kelihatan sedih.
Priscila jadi merasa canggung. Ada apa ini, pikirnya.
"Ah jangan sedih gitu dong. Aku juga kangen kamu kok, buktinya aku ngejawab video call kamu"
"Hahaha" tiba-tiba Nathan tertawa. Padahal suasana lagi mellow begini.
"Kok malah ketawa?"
“Ternyata kamu kangen juga. Aku udah duga, kamu pasti kangen banget sama aku yang ganteng ini. Hahaha”
“Hih! Jadi kamu tadi cuma ngerjain aku aja gitu? Gak lucu!”
Priscila jadi kesal sendiri. Nathan memang jahil banget.
“Ciee ngambek.. Senyum dong, jangan bête gitu” goda Nathan cengengesan.
“…”
Priscila diam. Ia tetap memasang wajah cemberut.
“Ya udah, gak papa. Kamu cemberut juga masih kelihatan cantik kok”
Lalu Nathan menatap Priscila dalam-dalam seperti ingin mengatakan sesuatu. Tapi tidak sanggup mengatakanya.
"Kenapa?" tanya Priscila.
Nathan terlihat menarik nafas panjang. Lalu dengan setengah berbisik ia berkata,
“Aku sayang kamu, Pris”
"APA!?"
Priscila bukanya tidak mendengar apa yang dikatakan Nathan. Suasana sore yang hening begini, setiap kata bahkan hembusan nafas Nathan pun ia dengar. Ia hanya ingin memastikan lagi apa yang didengarnya.
"Ah, udahlah. Gak ada replay" ucap Nathan sambil mengibaskan tangan di depan wajahnya. Dia tidak berminat mengulangnya.
"Hmm.." gumam Priscila termangu.
Wajah Nathan nampak sendu. Mungkin perpaduan antara rasa kangen yang tulus dan kelelahan. Entahlah, ia tidak tahu. Setidaknya ia sudah mendengar sendiri perasaan Nathan secara langsung.
"Kamu serius sayang aku?" tanya Priscila kemudian.
Nathan terdiam tidak menjawab. Beberapa menit kemudian barulah ia mulai berbicara lagi,
“Kamu coba lihat ke langit deh. Lihat bintang malam ini”
“Disini masih sore. Lagian ngapain lihat bintang? Kayak di sinetron aja. Bintang kan tiap hari juga ada” protes Priscila.
"Lihat dulu!" paksa Nathan.
Priscila mengalah. Ia memandang ke langit. Namun tidak ada bintang di langit kota Norwich. Hari masih sore. Mana mungkin ada bintang, pikirnya.
"Gak ada bintang Nat. Disini masih sore" kata Priscila.
"Pasti ada!" seru Nathan.
Priscila mendongakkan kepalanya kembali. Kali ini ia mengamati setiap jengkal langit kota lebih seksama dari yg tadi. Berharap menemukan bintang disana. Namun tidak ada. Tidak ada apa-apa. Hingga tanpa sengaja, ia melihat setitik cahaya redup di langit sebelah barat.
"Itu! Ada bintang di sana!" tunjuk Priscila.
"Bukan itu bukan bintang, tapi planet. Itu planet Venus" sahut Nathan.
Priscila tertegun. Ia jagoan bidang Astronomi bahkan sampai mewakili Indonesia di pentas internasional. Tapi bisa-bisanya ia lupa kalau itu planet Venus.
"Cari lagi" perintah Nathan.
"Capek ah Nat. Gak ada tau. Itu aja ya" bujuknya
"Itu kan juga bintang. Bintang kejora, hehehe" tawar Priscila seraya tersenyum semanis-manisnya.
"Gak" tolak Nathan.
Priscila termenung. Mana mungkin bisa melihat bintang, protesnya. Cahaya mereka kan kalah kuat oleh matahari. Oh, tunggu dulu. Itu dia. Matahari. Matahari juga bintang!
"Matahari!" seru Priscila riang.
Nathan mengangguk.
"Kamu tau, gak? Aku suka banget memandangin bintang"
“Kenapa?”
“Karena menurut aku, bintang itu seperti kamu. Yang menerangi hari-hariku. Tanpa kamu, hidupku gak berarti”
Priscila terdiam. Ini terdengar persis seperti dialog-dialog di sinetron. Tapi Priscila yakin kalau Nathan mengatakannya dari hati.
--Nathan's POV--
Nathan mengamati wajah Priscila dengan perlahan. Gadis itu tampak begitu manis. Nathan tidak tau apa lagi yang akan dia katakan. Ia sudah kehabisan kata-kata untuk melukiskan isi hatinya pada Priscila.
Ia sudah mencintai gadis itu sejak lama. Bahkan jauh sebelum ia berpacaran dengan Natasha. Tapi ia tidak berani menyatakan perasaanya. Ia terlalu takut untuk itu. Ia sadar kalau dia hanya anak orang miskin. Sedangkan Priscila anak orang kaya. Apalagi ia selalu dihina oleh orangtua Priscila dalam berbagai kesempatan.
Tapi ah sudahlah. Ia tidak peduli lagi sekarang. Tekadnya sudah bulat. Cerita pemuda yang ditemuinya barusan, benar-benar memprovokasi dia untuk nembak Priscila. Dia tidak mau membawa perasaanya ini sampai ke liang lahat. Lagipula ia sudah berkorban terlalu banyak untuk gadis itu (lihat part 2 -red). Ia tidak ingin semuanya berakhir dengan sia-sia.
Sekarang yang dia lakukan hanyalah menunggu. Menunggu respon Priscila. Apakah dia menerima cintanya atau tidak. Walau cuma bermodal laptop pinjaman dan wi-fi gratis, dia tetap percaya diri.
Pokoknya maju terus pantang mundur!
Jaman penjajahan aja, para pahlawan cuma bermodal bambu yang diruncingin, gak gentar kok melawan kompeni yang pake bedil.
*bersambung*
cukup menarik kisahnya...
ReplyDeleteHehhe, thank you brother
Delete