--Nathan's POV--
Nathan memandang mata cokelat nan indah milik Priscila sekali lagi. Ia berharap bisa memeluk gadis itu walau hanya sesaat.
"Pris, tolong jangan akhiri semuanya ini.."
Priscila tidak menjawab. Ia menarik nafasnya dalam-dalam.
"Ka-kamu tuh udah jadi mimpi terbesar aku Pris.." sambung Nathan gugup. Seraya tanpa sadar mengelap telapak tanganya yang berkeringat ke seragam kumalnya
"Ibuku pernah bilang mimpi itu harus diraih, dan aku selalu percaya kalau tidak ada mimpi yang terlalu besar dan pemimpi yang terlalu kecil.."
"Mimpi?" potong Priscila tidak sabaran.
"Kamu memang cuma nganggap aku mimpi, dan.."
'Ssst.."
Nathan menaruh telunjuk kananya ke depan bibir Priscila. Tapi gadis itu menangkis tangan Nathan dengan sigap.
"Kamu harusnya sadar Nath.." ucap Priscila terengah-engah.
''Kamu itu terlalu jauh buat aku"
Nathan terhenyak. Ia mencoba meresapi setiap kata yang barusan terucap dari bibir gadis mungil di hadapanya. Tapi semakin dalam ia coba mengerti, semuanya terasa buyar begitu saja.
"Aku bukan seabu-abu yang kamu kira Pris.."
'Aku hanya mencoba memahami dunia ini dari sisi yang berbeda dan.."
"Jangan basa-basi lah Nath!" senggak Priscila kesal. Nafasnya memburu tidak karuan.
"Aku, a-aku.."
"Aku gak ngerti kamu Nath.."
"Jadi kamu mau kita putus?" simpul Nathan gugup.
Priscila menghela nafas panjang. Ia mengalihkan pandanganya kearah lain. Berharap tidak beradu pandang dangan pemuda dihadapanya.
"Pris.." Nathan meraih tangan Priscila. Ia merasakan dadanya berdegup kencang. Oh Tuhan jangan biarkan ini berakhir sampai disini, pinta Nathan dalam hati kecilnya.
"Aku bosan terus menerus pacaran sama orang yang abu-abu Nath.."
"Kamu gak pernah mau ngerti, padahal aku udah berusaha ngertiin kamu!" seru Priscila sambil melepaskan tangan Nathan dengan kasar.
Nathan menunduk sedih. Hatinya terasa sangat perih. Rasanya seperti jutaan keping duri menghujani dirinya saat ini. Awan gelap yang sedari tadi menggantung di langit kota perlahan mulai menitikkan tetesan air ke bumi.
"Pris, aku cinta kamu Pris"
Nathan memberanikan dirinya dan dengan gemetaran memeluk gadis itu dari belakang.
"Nath, tolong.. Tolong jangan biarin aku seperti orang bodoh terus" desah Priscila lirih. Ia melepaskan diri dari pelukan Nathan. Pelupuk matanya mulai digenangi air mata.
"Apa aku harus pergi Pris?" tanya Nathan pelan.
"Pergi?" ulang Priscila datar.
"Maafin aku yang gak bisa seperti Edward.."
"Edward? Aku cuma mau kamu jadi Nathan yang dulu! Bukan Edward!" teriak Priscila dengan suara serak.
"Pris.."
Suasana senyap mulai menggelayut. Tetesan air hujan semakin deras membasahi bumi. Air mata, keringat, dan hujan kini menjadi satu. Bagi Nathan semuanya terasa sudah berakhir. Ia kalah. Kalah dalam segala hal. Priscila mungkin selamanya hanya menjadi mimpi saja. Tidak untu diraih atau dikenang. Karena ia sudah gagal meraihnya. Dan pecundang? Pecundang seperti dirinya tidak pantas dikenang.
"Yaudah kalo kamu mau pergi..''
"Aku juga bakal pergi"
Dengan terseok gadis itu perlahan melangkah pergi. Meninggalkan Nathan yang berlumpur penyesalan dibelakangnya.
--Edward's POV--
Edward memainkan jari jemarinya dengan gugup. Tanganya bergetar dengan hebat. Ia kesulitan membuka lembar demi lembar dibawah efek obat yang diminumnya. Tapi dia harus. Dia harus mengungkap semuanya kepada Priscila.
"Sampai berapa lama?"
"Sampai berapa lama kamu berpura-pura?'
Kata-kata Nathan terus mengiang di telinganya. Ia tidak tahan lagi dengan semuanya. Apalagi setelah ia menghajar pemuda itu yang sesungguhnya tidak bersalah apapun. Ia harus menyelesaikan kekacauan yang dibuatnya sekarang juga.
"Naya Fransiska, 23 tahun. Lulusan SMA Kobel Sejahtera. Nama orangtua, ayah Gomar Bridge asal Malaysia.."
"Hah!'
Edward mengulangi membaca tulisan buram itu lagi. Dan, ya hasilnya tetap sama. Penglihatanya masih normal ternyata. Dia tidak salah membaca. Ada kaitan penting antara semua kejadian aneh yang diceritakan Priscila. PLH KA Mewah, Tragedi truk kacang ijo, PLH Wijen.
Heikkk..
Edward tersedak. Ia merasakan ada cairan yang menggenangi tenggorokanya saat ini. Cairan itu seperti keluar dari dalam trakeanya dan menyumbat saluran pernafasan. Benar-benar membuatnya kesulitan bernafas.
"A-aku haruss menyelesaik-kan i-ini.." erang Edward menahan sakit. Tanganya membuka tiap lembar dokumen diatas meja dengan susah payah. Tekadnya sudah bulat.
--Nathan's POV--
Nathan duduk menyendiri di pojokan gudang stasiun Wijen. Gudang ini sama sekali tidak berubah sejak terakhir kali ia kesini. Semuanya masih sama.
'Oy, Nat!" seru seseorang mengagetkanya.
Nathan menoleh dengan malas. Tampak sesosok pria berbadan tegap berdiri dihadapanya. Ia segera mengenalinya.
"Ada apa pak?" tanya Nathan pelan.
"Ada bukti baru. Ayo ikut"
Lima belas menit kemudian, Nathan dibawa ke ruang arsip bukti perkara. Ruangan itu lebih mirip gudang. Sebuah gudang raksasa yang lebih luas dari lapangan sepakbola. Disana sudah menunggu pak Kasat Intel, dan seorang wanita yang tidak lain penyidik Yenni.
"Ini yang kamu minta" ucap pak Kasat menyodorkan bungkusan kecil sebagai ucapan selamat datang.
Nathan meraih bungkusan kecil yang disodorkan pria lanjut usia dihadapanya dengan hati-hati. Ia membuka bungkusan itu perlahan. Dan, yup! Benar seperti dugaanya. Seutas kawat yang sudah rapuh dimakan karat melingkar panjang ditanganya.
"Saksi kunci kasus ini" gumam Nathan pelan. Rahangnya masih terasa sakit akibat hajaran si Edward KW sialan itu.
"Bagaimana mungkin kawat menjadi saksi kunci?" Bripda Edward menyeringai.
"Ini adalah kunci mengungkap kasus kecelakaan Natasha"
"Apa maksudmu?"
"Jangan main-main!" bentak pak Kasat geram.
Nathan berjalan pelan kearah rongsokan truk kacang ijo. Ia mengamati bagian pintu dengan seksama. Nyaris tidak ada lagi yang tersisa disana. Semua bagian hampir habis dimakan karat.
"Bagaimana proses evakuasi truk ini dulu?" tanya Nathan pelan.
"Bagaimana? Ya di derek lah semprul!"
"Berarti.. B-bisa jadi ada bagian yang tercecer kan?"
"Mungkin" sahut Bripda Edward waswas.
"Tidak mungkin! Semua sudah dilakukan sesuai SOP!" sergah pak Kasat. Kacamata tebalnya tampak berkilatan diterpa cahaya mentari.
"Segala sesuatunya bisa saja terjadi pak" desis Bripda Edward bijak.
Nathan manggut-manggut tanda setuju. Pasti ada yang terhilang dalam kasus ini. Mungkin ada semacam barang bukti yang tercecer sewaktu evakuasi. Karena seutas kawat yang ditanganya juga belum bisa membuktikan apapun.
"Bagaimana kalau kita periksa saja rekam medis sopir truk ini. Barangkali kita bisa menemukan sesuatu yang penting!" ucap penyidik Yenni angkat suara.
"Ya-ya, ya. Data ante-mortem.." gumam pak Kasat.
--Priscila's POV--
Priscila duduk merenung di pojokan kamar. Pikiranya sedang kacau balau hari ini. Apa yang dikatakan Nathan benar-benar tidak masuk akal. Tuduhan itu kedengaran mengada-ada. Edo memang terlihat aneh dengan mata biru dan bahasa Inggrisnya. Tapi itu terasa wajar jika mendengar penjelasan Edo mengenai operasinya. Nathan tidak seharusnya berkata begitu. Lagipula ia masih cinta dengan Nathan, kenapa ia bertanya mengenai putus-putus segala?
"Kenapa dia begitu.." erang Priscila terisak.
Tok, tok, tok.
"Pris.."
Priscila menyeka air matanya. Lalu segera beranjak membuka pintu. Tiba-tiba terbayang bekas luka mengerikan di dagu Nathan. Ahh, kenapa ia masih sempat memikirkan luka yang bahkan tidak mau diceritakanya itu.
"Kak Erin.."
"Eh, Pris. Gue denger-denger si Nathan di grondit ya?" cecar kakaknya tidak sabaran.
"Iya kak" jawab Priscila tak bersemangat.
"Ohh.."
"Eh, emang grondit itu apa ya?"
"Grounded kak, bukan grondit"
"Iya itu arinya apa?"
Priscila menjelaskan semuanya. Nathan di grounded atau dibebastugaskan selama 3 bulan karena sebuah kesalahan yang dituduhkan kepadanya. Dia dianggap lalai dalam kasus PLH Wijen karena tidak melangsir draisin yang mogok di jalur 1.
"Tapi kan mogok, gimana dipindahinya?" tanya kak Erin setengah prihatin.
"Iya gak tau lahh.. Dia gak cerita" sahut Priscila sekenanya.
"Kok gak cerita? Kalian kenapa? Berantem?"
*bersambung*
No comments:
Post a Comment
Sampaikan komentar anda disini. No SARA & Rasis. Terimakasih