Apel Busuk, Part 22


 Nathan melangkahkan kakinya dengan gontai ke dalam lokomotif. Pertemuan singkat. Alunan cempreng pengamen jalanan mengiringi setiap getaran syahdu mesin lokomotif. Membawanya pulang ke asal. Kaca kotor kabin masinis yang memisahkan dirinya dengan gadis pujaan hatinya terlihat begitu kokoh saat ini. Begitu kokohnya hingga ia bisa merasakan ada aliran air mata yang menggenangi pelupuk matanya.

"Bye sayang.." gumam sang juru langsir penuh arti.

Priscila tidak menyahut. Suara kebisingan lokomotif yang hingga level 88dBA pasti membuatnya tidak mendengar apapun. Nathan melambai lemah dari balik kaca. Pertemuan ini lebih singkat dan menyakitkan dari perkiraanya. Ia tidak bisa berbuat banyak. Ia merasa berdosa. Priscila datang ke Sidopoto untuk menemuinya, sementara ia malah harus pergi meninggalkanya. Dan sialnya ending yang didapat gadis itu bukan happy ending seperti sinetron-sinetron di TV. Tidak. Gadis imut dan pintar itu harus merelakan getaran mesin lokomotif mengalahkan kerinduan hatinya. Suara desingan sang raksasa diesel bagai irama perpisahan yang menyayat hati.

Nathan menatap kosong kedepan. Sinyal jalan sudah mengangkat angkuh. Suara lantang peluit kepala stasiun yang dibalas kondektur pun sudah menjerit. Kini saatnya dia berangkat. Berangkat sebagai asisten masinis dan bukan juru langsir Wijen lagi. Ia hanya bisa tabah menjalani tugas negara yang entah sampai kapan akan memisahkanya dari Priscila.
--Priscila's POV--

"Gimana?" tanya Naya antusias.

Priscila menggelengkan kepalanya lemah.

"Jadi lu gak ketemu Nathan?"

"Ketemu kok"

 "Trus?" Naya menyipitkan matanya.

"Dia pergi dinas" sahut Priscila pasrah.

"Makanya Pris, mendingan lu lupain dia aja"

"Kok?" Priscila tertegun.

"Ya, maksud gue, lu cari yang pasti-pasti aja"

"Dia pasti kok!" sahut Priscila.

"Pasti apanya? Pasti ninggilin lu karena kereta terus kan?"

Priscila terdiam. Dia tidak bisa mengelak. Nathan memang tak pernah punya waktu buat dia. Bahkan kalau bukan dia yang datang ke Sisopoto karena kangen berat, pasti mereka tidak akan pernah bertemu.

"Iya kan?"

"Kok lu ngomong gitu sih?" tukas Priscila canggung.

"Ya, gue kan temen lu. Nah, gue pengen lu bahagia.."

"Gue bahagia kok sama Nathan" cetus Priscila ngotot.

"Bahagia sampe nikah?

 Priscila terhenyak, "Nikah?"

"Iya nikah. Emang lu gak yakin bakal nikah sama Nathan?" tanya Naya tersenyum.

Priscila terdiam beberapa saat. Pertanyaan itu kedengaran aneh buat dia. Dia bahkan belum pernah sekalipun berpikir mengenai pernikahan.

"Kan kita semua bakal nikah suatu saat nanti.."

"Nah, pertanyaan gue apa lu yakin Nathan bisa ngebahagiain lu sampe nikah?"

Priscila tersenyum mendengarnya. Tapi rasa-rasanya cukup logis juga memikirkan hal itu.

--Nathan's POV--

Sudah seminggu berlalu sejak kedatangan Priscila ke stasiun Sidopoto. Dan Nathan belum pernah gantian mendatangi Wijen. Mereka juga tidak pernah berkomunikasi lagi. Tidak melalui sms, telpon, Line, Whatsapp, FB, Twitter, atau yang lainya. Tidak. Tidak ada sama sekali. Nathan memang engaja melakukanya karena ia ingin memberikan surprise kepada Priscila. Ia mau datang diam-diam kesana. Selama seminggu ini  bekerja keras menuntaskan semua tugas dinasanya. Bahkan jadwal dinasan temanya pun dia lakoni demi mendapat hari kosong. Sudah jadi kebiasaan di dunia kereta api memang, jadwal dinasan ditukar-tukar semau hati. Jika mau liburan, biasanya seorang kuli rel akan menghibahkan dinasanya kepada temanya, dan selanjutnya gantian menjalani dinasan temanya. Begitu seterusnya. Entah siapa penemu tekhnik ini. Yang jelas ia sangat berterimakasih ide brilian ini ada di muka bumi.

"Nay" panggil Nathan.

"Nathan!" seru Naya riang sambil memeluk erat tubuh temanya itu.

"Lu kapan ke Wijen? Kok gak bilang-bilang?"

"Gue mau bikin surprise" sahut Nathan kalem.

"Buat Priscila ya?" cibir Naya dengan muka cemberut.

"Kok gitu sih?" Nathan mengernyitkan dahi.

"Ahh enggak-nggak kok.." elak Naya gelagapan.

Nathan tertawa aneh. Rasanya lucu kalau Naya cemburu dia dan Priscila berpacaran.

"Itu apa?" tanya Naya sambil menunjuk ke kantong besar yang ditenteng Nathan.

"Ohh.. Ini oleh-oleh dari Sidopoto. Apel.."

"Wow"

"Thanks ya"

"Eh, lu tunjukkin dong Edward dimana? Gue gak pernah ketemu dia nihh"

"Edward.."

"Iya Edward"

Naya tampak memikirkan sesuatu. Tampaknya ia ragu memberitahukan keberadaan Edward. Tapi akhirnya ia menunjukkan kelas Edward.

"Thanks!" seru Nathan sambil segera berlari memasuki gedung B kampus. Meninggalkan Naya yang tampak masih memikirkan sesuatu.

"Oy" panggil Nathan dengan suara berat. Pemuda dihadapanya menoleh bingung.

"What?"

"What?" ulang Nathan heran. Edward berbahasa Inggris?

"Ada apa?" tanya Edward dengan mimik bingung.

"Lu Edward?" Nathan balik bertanya.

"Yup!" sahut pemuda dihadapanya dengan mantap.

Nathan menggaruk-garuk rambutnya yang sudah seminggu tidak kena shampoo. Dahinya berkerut bingung.

"Hai" sapa seseorang tiba-tiba dari belakang. Nathan menoleh gugup.

"Priscila!" seru Edward girang. Priscila balas tersenyum. Pemuda ini ternyata memang bernama Edward. Nathan hanya bisa terbengong melihatnya. Sudah seminggu tidak bertemu, gadis ini bertambah cantik.

"Let us have a meal!" ajak Edward ramah seraya meraih tangan Priscila. Muka Nathan merah padam bagai kepiting rebus melihatnya.

"Emm.. Nathan ikut juga yuk.." ucap Priscila tiba-tiba.

"He?" tanya Edward sambil melirik sinis kearah Nathan yang masih terbengong-bengong melihat semuanya.

"Yeah! Let's go!" seru Priscila riang. Tanganya menggandeng tangan Nathan dengan eratnya. Sementara tangan Priscila yang satunya lagi digenggam Edward dengan penuh kehangatan. Nathan tidak bisa berbuat apa-apa selain mengimbangi derak langkah kaki pacarnya itu.

"Ini pesananya" ucap pelayan mempersilahkan.

Edward segera meraih burger yang terhidang, lalu menyantapnya dengan lahap. Sepertinya dia lapar, batin Nathan.

"Makan Nath" kata Priscila menawarkan dengan ramah. Nathan manggut-manggut seperti badut Yes-Man. Ia lalu menggigit sedikit demi sedikit burger yang disajikan.

"So, how's your study today?" tanya Edward membuka percakapan.

"Fine. I did some exercise about algorithm today. I feel so excited!"

"Well, how about Euclid’s algorithm?"

"Yeah. I found some problem there.. Hahaha" sahut Priscila sambil tertawa. Edward mencubit pipi Priscila dengan gemas. Lalu ia mulai menerangkan sesuatu mengenai alogaritma kepada Priscila -yang tentu saja tidak dimengerti Nathan- dengan semangat. Nathan hanya bisa terbengong-bengong -entah untuk keberapa kalinya- melihat semuanya.

"Gue mau ke toilet" ucap Nathan tiba-tiba. Kemudian dengan segera ia meninggalkan meja tersebut. Tentu saja ia bukanya benar-benar ingin ke toilet. tapi mau kabur.

--Priscila's POV--

Priscila melihat Nathan bergerak tergopoh keluar kantin. Apa mungkin dia benar0benar ingin ke toilet, bbatin Priscila bertanya dalam hati.

"Hey, hon-honey" seru Edward sambil melambai-lambaikan tangan di depan wajah Priscila.

"Uh, mm. Sorry.."

Mereka berdua lalu melanjutkan pembelajaran mengenai alogaritma. Priscila merasa senang didekat Edward. Cara mengajar Edward sangat mudah dipahami.

"Pris"

Priscila menengok. Di belakangnya tiba-tiba tampak Nathan, pacarnya, sedang berdiri sambil melipat tangan. Entah kapan ia kembali ke kantin, tapi yang jelas ia sepertinya sedang marah. Sementara itu disebelahnya, Edward hanya bisa mengernyitkan dahi melihat Nathan.

"Apa?"

Nathan tidak menjawab. Dalam satu gerakan, ia langsung menarik tangan Priscila dengan kasar. Membawanya keluar dari kantin ke taman.

"Lepasin Nath" jerit Priscila kesakitan.

"Gak!" sahut pemuda itu ketus.

"Lepasin!" seru Priscila sekali lagi sambil mengibaskan tangan Nathan sekuat tenaga. Nathan mengaduh kesakitan, Priscila segera memanfaatkanya untuk menarik tanganya.

PLUK

Tiba-tiba Nathan memeluk tubuh Priscila.

"A-apaan sihh.." jerit Priscila kaget. Dia malu dilihat orang banyak seperti ini.

"Pris. Dia-dia, dia bukan Edward!" seru Nathan.

"Maksud kamu apaan sih?" balas Priscila gusar. Ia menggeliat berusaha melepaskan diri.

"Lepasin aku!"

Nathan melepaskan pelukanya. Dari sorot matanya tampak terpancar kekhawatiran melihat dirinya. Priscila tidak tau apa itu. Ia sangat bingung dengan sikap Nathan.

"Kamu kenapa sih?"

"Aku takut" desis Nathan pelan. Ia menundukkan wajahhnya dengan malu.

"Takut kenapa?"

"Aku takut kamu ninggalin aku!" seru Nathan dengan wajah ketakutan.

"Maksud kamu apa sih?"

"Dia-dia. Dia bukan Edward Pris!"

Priscila mengernyitkan dahi. Ia benar-benar bingung dengan apa yang dikatakan pemuda dihadapanya ini.

"Edward gak mungkin berbahasa Inggris seperti itu. Dan. dan matanya gak biru.." seru Nathan terengah-engah.

"Ya. Iya. Dia bilang itu karena operasi.."

'Operasi?" ulang Nathan heran.

Priscila mengangguk. Ia menjelaskan kalau Edward pernah bercerita kepadanya, ia harus menjalani operasi pencangkokan mata untuk menyelamatkan penglihatanya. Sedangkan kemampuan berbahasa Inggrisnya didapat selama menjalani masa-masa operasi berbulan-bulan di Amerika untuk rekonstruksi wajah dan organ tubuh.

Nathan mulai tenang mendengar penjelasanya. Tapi sepertinya masih ada yang mengganjal pikiranya. Priscila menatap Nathan dengan sendu. Saat ini perasaanya bercampur aduk antara senang, sedih, dan bingung. Ia senang melihat Nathan cemburu, itu artinya ia benar-benar cinta kepadanya. Tapi ia juga bingung dengan pernyataan aneh Nathan kalau Edward yang sekarang ini adalah palsu. Ia merasa sedih jika harus bertengkar lagi dengan Nathan.

--Nathan's POV--

Nathan mencegat Edward di gerbang kampus. Ia masih penasaran dengan identitas asli makhluk itu. Dia terpaksa mengiyakan penjelasan Priscila mengenai operasi Edward agar bisa cepat kabur ke gerbang dan mencegatnya. Ia sudah pernah bertemu dengan Edward yang dianggapnya asli. Dia adalah Bripda Edward. Secara fisik, si Bripda itu memang lebih mirip Edward ketimbang si bajingan berbahasa Inggris yang jago alogaritma itu.

"Hoy!"

"Apa?" tanya Edward celingukan.

"Siapa lu?"

"I'm Edward!"

"Cih!" Nathan meludah kesal.

"Why? What happen with you?"

"Me?" desis Nathan menggeram kesal. Tanganya segera  menabok perut Edward sekuat tenaga.

"Arrghh!" 

"Who are you!" jerit Nathan emosi.

"I am Edward!" pekik pemuda itu tidak kalah nyaring. Bersamaan dengan itu tangan kananya melayang ke pipi Nathan. Tapi Nathan menangkisnya dengan sigap.

Bukk!

Sebiji pukulan dengan tangan kiri gagal dihadang Nathan. Melesak tajam ke perutnya yang belum diisi apapun selain burger tadi siang..


"Arrggh!" erang Nathan sambil terseok mundur beberapa langkah.

"What do you want?"

"I want a truth!" jerit Nathan kesal.

"A truth? I tell you a truth.." geram Edward mendekat dengan tangan terkepal.

"I AM EDWARD.."

BUKK! Sebiji pukulan mengantam dagu Nathan.

"AND I LOVE PRISCILA.."

DAKK! Dengkul Nathan bergeser ditendang keras.

"AND YOU.."

DRAPP! Tubuh Nathan didorong hingga terspelanting

"ARE NOTHING!"

BASSSHH! Seberkas darah melayang keluar dari hidung Nathan. Bersamaan dengan itu dirinya mulai hilang kesadaran menyusul sepakan maut kedua yang menhantam kepalanya dengan telak. Tubuh Nathan berguling tak berdaya di aspal jalanan.

"S, sa-sampai kapan.." ucap Nathan terengah.

"Sampai berapa lama?"

"Sampai berapa lama kamu berpura-pura?"

Edward terdiam mendengarnya. Pemuda ini benar-benar keras kepala. Dalam keadaan seperti itu pun masih bisa bicar. Padahal ia yakin sepakan pertamanya sudah membuat rahang Nathan bergeser.

--Priscila's POV--

From: Nathan
To: Priscila

Aku lagi di Wijen.

Priscila bergegas pergi dari kamarnya begitu membaca sms masuk dari Nathan. Ini sms pertama Nathan semenjak pertemuan mereka dua bulan yang lalu. Yaitu ketika pemuda itu datang ke kampusnya. Tapi sudah sepuluh menit ia menunggu, kereta yang ditumpangi Nathan belum kunjung tiba. Ia mendengar kabar dari pak Ujang, kepala stasiun Wijen, kalau Nathan digrounded 3 bulan karena dianggap bersalah dalam kasus PLH Wijen. Termasuk didalamnya Joko PPKA Wijen,, dan PPKA Bugil juga digrounded masing-masing 6 bulan lamanya. Hal ini agak bertentangan dengan keputusan pertama KNKT perihal kejadian mengerikan tersebut.

"Kok bisa ya?" gumam Priscila bertanya-tanya.

Teng, nong, neng, nong, neng, nong..

Tiba-tiba terdengar suara genta kedatangan stasiun berkumandang nyaring. Lalu tak sampai semenit kemudian kereta lokal Banyubaru menampakkan wujudnya di stasiun Wijen. Satu-persatu penumpang mulai turun dengan bawaan masing-masing. Priscila memperhatikan dengan seksama apakah ada Nathan diantara kerumunan penumpang yang baru turun. Tapi ternyata tidak ada. Dengan terpaksa ia kembali terduduk lesu di ruang tunggu stasiun.

"Nunggu siap mbak?"

"Nunggu orang lah masa kambing!" cetus Priscila kesal. Kepalanya masih menunduk lesu.

"Oh, namanya siapa?"

"Nathan"

"Dia pacar mbak?"

"Iya!" ketus Priscila.

"Mbak sayang gak sama dia?"

"Sayang lah! Eh.." Priscila mendongakkan wajahnya ragu.

"Nathan!" jerit Priscila tercekat.

Nathan tersenyum lebar. Priscila memukuli dada Nathan berulang kali dengan kesal.

"Kamu ngerjain aku mulu.."

"Maaf deh" sahut Nathan seraya merangkul Priscila. Gadis itu menyenderkan kepalanya di bahu Nathan dengan manja. Mereka duduk bersisian di bangku ruang tunggu dengan mesra.

"Kamu kemana aja dua bulan gak ada kabar?"

"Aku di-grounded Pris.." ucap Nathan pelan.

"Yang sabar ya Nath.."

"I-iya" sahut Nathan lirih.

"Tapi itu kan bukan salah kamu?" tanya Priscila sambil melepaskan rangkulan Nathan.

"Iya. PPKA Wijen aja kena grounded, padahal waktu kejadian kan si Joko-trondeptil itu lagi cuti disunat"

"Hahaha.." Priscila tertawa geli mendengar Nathan menyebut Joko-trondeptil. Ia jadi ingat satu spesies dinosaurus pemakan berak yang namanya juga ada akhiran -deptil.

"Tapi kamu kok sekarang beda sih Nath?"

"Beda apa?"

"Nggak deh.." ucap Priscila tersipu malu. Ia malu mengakui kalau Nathan sekarang lebih berisi. Dadanya terlihat bidang dan wajahnya tampak maskulin. Mungkin karena sudah teratur berolahraga semenjak tidak punya aktivitas.

"Egh, dagu kamu kenapa ya Nath?"

Nathan tidak menjawab. Sepertinya ada cerita kelam dibalik luka di dagunya. Seperrti habis dihajar seseorang. Priscila sangat penasaran, tapi ia mengurungkan niatnya karena Nathan tampak tidak bersemangat membahas luka yang kelihatanya sangat menyakitkan itu.

"Berarti sekarang tinggal sebulan lagi ya?" tanya Priscila mengalihkan pembicaraan.

"Iya. Sebulan lagi aku udah boleh dinas lagi"

"Emang hasil penyidikan KNKT apa sih?"

"Katanya kami lalai memindahkan draisin yang mogok. Harusnya draisin itu di sepur belok biar KA 2022 bisa berjalan langsung tanpa taspat"

"Aku gak ngerti Nath" kata Priscila heran. Dia bingung dengan istilah-istilah yang dilontarkan pemuda itu.

"Jadi simplenya.."

"Kereta itu dihalangin jalurnya sama lori motor yang mogok"

"Trus?"

"Ya, ya akhirnya lewat jalur lain" pungkas Nathan.

"Tapi kan mogok. Gimana mindahin drai-drai apa?"

"Draisin.."

"Ah, iya draisin"

"Gak tau lah. Mereka cuma nyari kambing hitam aja paling" sahut Nathan malas.

"Trus kasus PLH KA Mewah?"

"Eh, iya..' ucap Nathan seperti tersadar sesuatu.

"Apa?"


"Inget donk.." sahut Priscila riang. Mana mungkin dia melupakan kejadian dimaaa dirinya menyaksikkan Nathan tampil  sebagai pahlawan penyelamat kampung.

"Katanya ada kaitan antara si Sawtang itu sama PLH KA Wijen.."

"Hah!"

"Iya ada kaitan.." ujar Nathan dengan suara tertahan.

"Kaitanya apa?"

Pemuda itu menggeleng lemah. Priscila bisa mengerti kalau terlalu pahit mengenang tragedi PLH bagi seorang kuli rel.

"Pris.." ucap Nathan lembut

"A-apa Nath?" tanya Priscila bingung.

"Kamu, emm-mm.."

"Apa?"

"Ehmm.."

"Apa sih!?" desak Priscila mulai kesal.

"Kamu masih perawan nggak?"

"HAH!?" Priscila terperanjat mendengarnya. Suara Nathan memang sangat kecil, tapi ia masih bisa mendengarnya dengan jelas. Pertanyaan macam apa ini!

'Maksud kamu apa sih!" seru Priscila. Perasaanya bercampur aduk antara kesal dan bingung dengan maksud pertanyaan Nathan.

"Nggak. Gi-gini loh.."

"Apa!?"

"Emm..' Nathan menggaruk-garuk rambutnya.

"Apa!"

"Soalnya aku mau nikah sama kamu.." bisik Nathan pelan.

"HAH!?" Priscila terpelongo mendengarnya. Ia terdiam beberapa saat mencoba mengumpulkan kesadaran jiwanya yang sudah diacak-acak Nathan lewat deretan kalimat absurdnya.

"Trus kalo aku gak perawan?"

"Aku tetep nikahin kamu"

Priscila tertegun mendengarnya. Pernyataan Nathan sangat bertolak belakang dengan pakem kalau pria tidak mau menikahi pasanganya yang sudah tidak perawan lagi.

"Trus maksud kamu nanya gitu apa?"

"Pengen tau aja. Hahahaha.." sahut Nathan cengengesan. Tanganya mengacak-acak rambut Priscila. Priscila balas memukuli dada Nathan dengan kesal.

"Tapi aku masih perawan kok Nath"

"Apa?"

"Iya, aku masih perawan"

"Bohong ahh.."

"Hah?"

"Mana buktinya? Coba aku lihat.." desis Nathan mesum.

"Ihh! Dasar cabul!"

PLAK!

Priscila menghadiahi Nathan dengan tinju keras. Tapi pacarnya itu malah tertawa-tawa tidak karuan. Untunglah, Nathan hanya bercanda. Awalnya dia mengira pertanyaan ini ada kaitanya dengan salah paham di London. Dimana dia disangka tidur bareng Niall. Tapi sejujurnya, dia memang masih perawan. Keperawananya belum pernah diberikan kepada lelaki manapun.

"Aku udah lupain itu kok" ucap Nathan setelah tawanya mereda.

"Lupain apa?"

"Masa lalu yang di London.." sahut Nathan seolah tau jalan pikiran Priscila.

"Aku percaya sama kamu sepenuhnya" sambung pemuda itu mantap.

Priscila tersenyum bahagia. Ia merasa tentram mendengarnya. Ia belum pernah senyaman ini berada di sisi laki-laki. Ia benar-benar berharap, Nathan lah yang akan bersamanya di pelaminan.

"Ayo ke taman" ajak Nathan tiba-tiba. Membuyarkan lamunanya mengenai pesta perkawinan megah di gedung berbintang lima di Jakarta.

"Taman mana?"

"Taman Wijen lah.."

Mereka berdua lalu berjalan menuju taman dengan riang. Di taman inilah Nathan menghilangkan rasa jenuhnya di perkeretapian, termasuk ketika sakit hati dimarahi ayahnya Priscila

"Pris, aku boleh nanya sesuatu gak?'

"Apa?"

"Kamu percaya gak sama aku?"

Priscila memandangi Nathan heran. Dia berusaha mengerti maksud Nathan kali ini.

"Iya aku percaya kamu"

"Kalo gitu.." Nathan menarik nafas dalam-dalam. Tatapanya jauh melayang ke depan.

"Kalo gitu apa?"

"Kamu harus percaya dia itu bukan Edward.."

Priscila menggeleng bingung. "Kenapa?"

"Aku cinta kamu bukan Edward, Nathan.."

"Ini bukan masalah itu. Aku takut kamu disakitin dia.." ucap Nathan serius. Mimik wajahnya mendadak berubah. Tidak ada lagi sisa-sisa tawa ketika mereka di ruan tunggu stasiun tadi.

"Dia baik Nath.."

"Dia perhatian, pintar, dan.."

"Ya, ya, ya. Aku tau, dia juga ganteng, tinggi, keren.. Iya kan?" potong Nathan kesal.

"Kok kamu gitu? Maksud aku bukan gitu? Maksud aku..'

"Maksud kamu Edward lebih baik dari aku kan?"

"Bukan Nathan!" sergah Priscila seraya mendorong kesal tubuh Nathan.
 
"Kamu kan curiga kalo Edo orang jahat. Nah, aku jelasin kalo dia itu gak jahat. Dia baik.." terang Priscila kesal.

"Lebih baik dari aku?"

Priscila menunduk sedih. Lalu dengan lirih ia berkata, "Aku gak mau kita berantem terus Nath.."

"Aku juga"

"Trus?"

"Trus? Jauhin Edward!" bentak Nathan.

Priscila tertegun dibentak seperti itu. Ada apa dengan Nathan? Dia dan Edward tidak ada hubungan apa-apa. Jika Nathan percaya kepadanya, kenapa kali ini tidak. Dia tidak ingin menjauhi Edward karena mereka selama beberapa bulan ini hubungan pertemanan mereka sudah sangat erat. Dia hanya berteman. Tidak lebih. Apa yang salah dengan pertemanan Nathan?

"Kenapa gak jawab?"

"Aku harus jawab apa?" Priscila balik bertanya.

"Kamu pilih aku atu Edward?"

*bersambung*

Artikel Lainya:

No comments:

Post a Comment

Sampaikan komentar anda disini. No SARA & Rasis. Terimakasih