Apel Busuk, Part 21


"Pris, aku harus pergi"

Priscila mengangguk pelan. Nathan mengecup lembut kening Priscila sekali lagi. Ia harus kembali ke Sidopoto. Tugas negara telah menantinya.

"Jaga diri baik-baik ya"

"Hahaha" Nathan tertawa mendengarnya. Entah kenapa kalimat itu terasa asing di telinganya.

"Aku kan cuma ke Sidopoto Pris" 

"Iya sih" Priscila manggut-manggut.

"Tapi kalo aku kangen gimana?" tanya gadis itu setengah berbisik.

"Aku ntar rutin dateng ke Wijen kok"

"Janji?"

"Pasti!" sahut Nathan mantap.


Sepasang kekasih itu lalu berjalan perlahan ke rangkaian kereta lokal Banyubaru yang tengah menunggu jadwal pemberangkatan.

"Jangan nakal ya"

Nathan tersenyum mendengarnya. Untuk pertama kalinya ia merasakan sendiri kisah pahit para kuli rel yang harus berjauhan dari orang-orang tersayang. Sebuah rasa sakit yang sangat mendalam.

"Nath-an"

"Iya, kamu tenang aja. Aku cuma cinta kamu kok" ucap Nathan sambil mengacak-acak rambut Priscila.

"Nathan!"

"Hahaha"

TOTTT..

Terdengar S35 lantang lokomotif BB306-10 membahana. Lokomotif tua itu kembali bergemuruh, mengumpulkan sisa-sisa tenaganya untuk menyelesaikan tugasnya hari ini. KA lokal Banyubaru berderak perlahan meninggalkan stasiun sejuta kenangan, stasiun Wijen. Priscila melambaikan tanganya kearah rangkaian kereta yang semakin lama semakin mengecil hingga menghilang dari pandanganya. Tetes air mata tanpa sadar mulai membasahi wajahnya untuk kesekian kalinya hari ini.

--Priscila's POV--

"Udah lah Pris, ayo!" rengek Naya sambil menarik tangan Priscila.

"Iya iya deh" Priscila akhirnya luluh juga. Ia mengikuti jejak temanya itu yang berlari-lari kecil ke sebuah kafe dan bolos kuliah.

"Jadi hubungan lu sama Nathan gimana?" tanya Naya begitu mereka duduk di kursi makan kafe.

"Ya gitu dehh" sahut Priscila malas.

"Ada masalah ya?" selidik Naya penasaran.

"Nggak kok" sanggah Priscila cepat. Dia dan Nathan memang tidak ada masalah apa-apa.

"Ohh" Naya manggut-manggut.

"Tapi lu udah pernah ketemuan kan?"

Priscila menggeleng. Sejak pertemuan mereka di stasiun Wijen, sudah sebulan ini Nathan tidak pernah datang menemuinya.

"Lu emang tahan LDR-an Pris?" tanya Naya heran.

"Ya, dia kan kerja" sahut Priscila coba memahami posisi Nathan yang terikat aturan dinas kereta api.

"Ahh, payah lu"

"Trus Edward?" Naya bertanya lagi.

"Ya gitu.."

"Gitu gimana?"

Priscila menggeleng. Ia bingung dengan posisinya saat ini. Kedekatanya dengan Edward perlahan mulai menumbuhkan kembali benih-benih cinta yang selama ini sudah hilang. Sesuatu yang terjadi tanpa disadarinya.

"Lu sekarang pilih aja deh Pris.." Naya menghela nafas panjang.

"Nathan atau Edward?"

Priscila terhenyak mendengarnya. Dia tidak pernah berharap pertanyaan itu datang lagi kepadanya.

"Kalo gue jadi lu ya.." desis Naya.

"Gue bakal pilih Edward" sambung gadis itu pelan.

Priscila tidak menyahut. Ia merasa ada yang aneh di kalimat Naya barusan. Mendadak terselip rasa cemburu mendengarnya. Ia tidak tau apa yang sedang dirasakanya saat ini. Semuanya terasa berputar-putar di udara dan bercampur aduk jadi satu. Edward mantan pacarnya yang hilang dalam tragedi KA Mewah itu kembali datang ke kehidupanya. Ia sudah tidak tau lagi harus menempatkan Edward di posisi mana karena ia sudah punya Nathan. Dulu ia tidak tau jawabanya, dan sekarang ia seolah-olah sudah tau jawabanya padahal tidak.

--Nathan's POV--

Nathan membolak-balikkan tubuh kurusnya diatas ranjang busuk milik negara. Mess pegawai yang sama sekali tidak berperikemanusiaan inilah yang menjadi habitat Nathan selama satu bulan belakangan. Ia sudah pasrah dengan surat mutasi sakti yang dikeluarkan Dirjen Sepur perihal penempatan dirinya sebagai pegawai asistensi di stasiun Sidopoto.

"Aku ngerti kok"

Begitulah kira-kira kalimat yang selalu diucapkan Priscila setiap kali ia menolak ajakan ketemuan karena terbentur jadwal berdinas. Nathan sebenarnya merasa tidak tega harus terus begitu. Tapi ia benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Ia bahkan harus menahan rasa cemburunya kepada Edward yang kini leluasa mendekati Priscila.

"Kamu dimana Pris?" tanya Nathan begitu sambungan telepon terhubung.

"Lagi di kampus ngerjain tugas"

"Sama siapa?"

"Naya, Lina, Reny, Edward.."

"Oh.." gumam Nathan datar. Sebuah jawaban yang sudah bisa diprediksi dia.

Hampir disetiap kali Nathan menelepon dan bertanya Priscila sedang bersama siapa. Jawabanya pasti sedang bersama Edward. Bahkan disuatu hari, Nathan menelepon ketika Priscila dan Edward sedang nonton bareng. Sesuatu yang tidak pernah dilakukan mereka berdua selama pacaran.

"Jadi sebenarnya status kalian berdua gimana sih?" tanya Hartono diantara suara ribut mesin lokomotif.

Nathan termenung. Ia mencoba menyimak maksud pertanyaan temanya itu. Dia bisa menangkap aroma keprihatinan sekaligus mengejek didalamnya.

"Maksud lu?" tanya Nathan balik dengan wajah pura-pura bego.

"Lu tau gue kan ama Ana?"

"Ana dari Utan Kayu itu?" Nathan coba memperjelas.

"Iya itu"

"Truss?"

"Nahh, pacaran tuh kayak gue ama dia. Gejol bareng, ngobrol, nonton.."

HOOENNNKSSS

Nathan membunyikan suling lokomotif kuat-kuat. Dia tidak mau mendengar lanjutan kalimat Hartono. Terlalu sakit mengingat dia dan Priscila bahkan belum pernah dinner sekalipun.


--Priscila' POV--

"Ini" ucap Priscila sambil menyodorkan selembar brosur kecil.

Nathan mengambilnya. Ternyata mengenai kampanye peduli lingkungan. #SaveTheWild, begitulah kira-kira slogan yang diusung.

"Tertarik?"

Nathan menggeleng sambil bergumam pelan, "Aku gak bisa Pris"

Priscila mengernyitkan dahinya.

"Kenapa?"

"Aku sibuk"

"Sibuk?"

"Sibuk apa?" tanya gadis itu bingung.

"Jadwal dinasan ku padat Pris.." ucap Nathan seraya mengeluarkan jadwal dinas dari dalam ranselnya.

"Hufthh.. maaf" Nathan menghela nafas panjang.

"Oh.. yaudah" jawab Priscila pasrah.

"Yaudah?"

"Yaudah gak apa-apa atau yaudah.."

"Ya, yaudah.." ucap Priscila datar. Sebuah kalimat yang sudah sering ia katakan dengan kepasrahan hati.

Nathan menunduk lesu. Wajahnya tampak murung.

"Aku gak bisa ngapa-ngapain kan?" sambung Priscila lagi.

Nathan meraih tangan Priscila dengan ragu.

"Pris, aku minta maaf ya.."

Priscila hanya diam. Tanganya terasa dingin ketika digenggam. Ia berharap Nathan mengerti perasaanya saat itu. Dia ingin Nathan berada di sisinya. Ia tidak mau Nathan terus menerus jauh darinya. Tapi sayangnya, dia sadar tidak bisa berbuat apa-apa.

*bersambung*

Artikel Lainya:

No comments:

Post a Comment

Sampaikan komentar anda disini. No SARA & Rasis. Terimakasih