Lokomotif Kelas C53 |
lokomotif seri 1000 milik Staatsspoorwegen, yang kemudian di masa
kemerdekaan menjadi kelas C53. Bahkan, saya kira hampir semua dari
kita pernah melihatnya di Museum Transportasi di Taman Mini
Indonesia Indah: sebuah lok impresif yang kokoh, menunjukkan
kekuatan, kecepatan dan keandalan. Singkatnya, sesuai dengan nama
julukan SS: Steeds Sneller –senantiasa semakin cepat. Bila kita
membaca tulisan-tulisan tentang perkeretaapian Indonesia, pasti kita
akan menemukan komentar bahwa lok ini berjasa
memungkinkan "Eendaagsche" yaitu KA tercepat di jalur 1067 mm pada
zamannya, yang bisa membawa seseorang dari Soerabaja ke Batavia
selama matahari masih bersinar.
Pandangan ini dikemukakan oleh para
penulis seperti Brian Hollingsworth dan A. E. Durrant.
Namun benarkah kelas 1000 merupakan lok terbaik pada masanya?
Lokomotif ini ternyata jauh dari sempurna. Mulai dari proses
perancangan dan pemilihan pabrik pembuatnya. Werkspoor sama sekali
bukan nama terkenal dalam dunia pembuatan lokomotif uap. Pabrik ini
pun sebelumnya belum pernah berpengalaman dalam merancang lokomotif
4 silinder compound (sebelum merancang kelas 1000, Werkspoor baru
merancang 4 jenis lok). Selain itu, pengalaman juga menunjukkan
bahwa pabrik ini gagal dalam merancang lok-lok untuk NIS (Lok untuk
jalur pegunungan dengan diameter roda 1556 mm? Yang benar saja…).
Kemungkinan besar pemilihan pabrik ini hanyalah semata-mata alasan
nasionalisme.
Pemilihan sistem empat silinder compound semula dirancang untuk
menghasilkan daya yang kuat dengan penggunaan bahan bakar yang
hemat. Namun, sistem ini rentan terhadap jalan uap (sistem pipa-pipa
dari ketel ke silinder) yang berkelok-kelok, yang praktis "mencekik"
jalannya uap dan mengurangi potensial daya. Pada akhirnya, dengan
tekanan uap yang lebih tinggi daripada lok manapun yang ada di
Hindia Belanda saat itu (14 kg/cm kuadrat dibandingkan 12 kg/cm
kuadrat), lok ini hanya mampu menghasilkan daya sekitar 1000 hp.
Akibatnya, untuk menarik "Nacht-Express" yang berat itu, harus
digunakan dua lokomotif secara permanen.
Sebagai perbandingan, lok kelas 1300 (C28) yang dirancang oleh
Henschel hanya beberapa tahun sesudahnya, bisa menghasilkan daya 10%
lebih besar. Tanpa harus menggunakan sistem empat silinder, yang
tidak saja mahal pembuatannya, namun juga rumit perawatannya.
Lok kelas 1000 bukan saja gagal sebagai "mesin penghasil daya", ia
juga gagal sebagai "mesin penggerak". Entah kenapa, meskipun keempat
silindernya menggerakkan as yang sama (yang seharusnya menimbulkan
kestabilan), lok ini ternyata sangat tidak stabil. Dalam percobaan
dengan lok nomor 1017 pada tahun 1931, dikatakan "een misselijk
makenden galloperenden tred" (bergoncang-goncang sehingga
memualkan). Ini terjadi pada kecepatan 100 km/jam. Justru seri 700
yang lebih tua, yang kemudian menjadi C50, malah berhasil mencapai
kecepatan 127 km/jam dengan tidak banyak goncangan. Padahal lok ini
di-rating untuk kecepatan "hanya" 80 km/jam, sementara kelas 1000
dirancang untuk kecepatan 90 km/jam
Kelas 1000 memang benar-benar suatu kesalahan pembelian yang parah.
Dengan statusnya sebagai lok buatan Belanda (yang berarti kebanggaan
kolonial), lok ini tidak mungkin digunakan untuk layanan kelas dua.
Namun, lok ini tidak mampu memberikan yang diharapkan. Lok ini
dianggap sebagai "paradepaard", sebagai pembawa bendera SS yang
paling hebat, yang tentu saja dibuat di tanah air Nederland. Tidak
mungkin dong, kalau lok ini tiba-tiba hanya dipakai untuk KA sekelas
(misalkan) Cirebon Ekspres di zaman sekarang. Mau ditaruh di mana
muka para bos SS?
Tidak heran bahwa pada akhir dekade 1920-an sempat terpikir untuk
merekonstruksi seluruh bagian depan lokomotif ini (bagian
silindernya) menjadi lokomotif 2 silinder biasa. Sayang
sekali "zaman meleset" menggagalkan rencana ini, demikian juga
rencana untuk merekonstruksi kelas 1300 yang jauh lebih berhasil itu
menjadi lokomotif dengan tender, sehingga bisa dipakai untuk kereta
api jarak jauh.
Pada akhirnya, SS terpaksa menggunakan lok ini, karena tidak ada
pilihan lain, hingga ke hari-hari terakhirnya di Hindia Belanda.
Tentu saja, biaya perawatannya mahal.
Mungkin satu hal yang menarik bahwa ketika terjadi Perang
Kemerdekaan, Belanda memilih untuk memperbaiki lok seri 700 untuk
digunakan di jalur-jalur yang dikuasainya, dan membiarkan seri 1000
ini rusak (hanya dua lok yang berada dalam kondisi bisa dipakai
selama periode itu).
Untungnya bagi sejarah, meskipun lok 1000 dapat dikatakan sebagai
kegagalan teknis, secara estetik ia sama sekali bukan kegagalan. Lok
C5317 bertahan dalam penggunaan sehari-hari hingga dekade 1970-an,
dan akhirnya selamat untuk dipreservasi di Taman Mini.
Nah, jangan sampai lok CC203 atau CC204 bernasib serupa kelas 1000
ini.
Ada pandangan yang mengatakan bahwa seri CC203 ini malah tidak
reliabel, karena turbosupercharger-nya terlalu diforsir, sehingga
sering rusak, atau minimal memerlukan perawatan yang lebih besar,
dibandingkan CC201. Sementara itu, CC204 kemungkinan lebih merupakan
eksperimen PT Kereta Api dengan teknologi canggih, yang mungkin
masih perlu dipikirkan masak-masak mengenai ketepatgunaannya dalam
kondisi yang ada saat ini.
Sumber terlampir:
Jaarverslag SS 1941, dalam Jan de Bruin, Het Indische spoor in
oorlogstijd
H. de Jong, Locomotieven van Werkspoor
J. J. G. Oegema, Stoomtractie op Java en Sumatra