Kereta Api Di Masa Mendatang

Stasiun Tenjo - Pagi ini sama seperti pagi lainya. Fajar, embun, awan. Semuanya sama. Aku menyeruput perlahan kopi panas dihadapanku. Kopi panas yang sama. Sama seperti langit dan semua kesibukan stasiun di pagi hari yang terbentang dihadapanku. Barangkali bedanya hanya pagi ini endapan kopi masih nampak menggumpal di beberapa sudut gelas plastik yang melonyot menahan panas. Kuhirup dalam-dalam aroma kopi, sembari kembali melirik jam tangan butut warisan Kang Ujang, mantan pegawai juru rumah sinyal, yang terkenal keramahanya itu. Ya keramahan para pegawai stasiun kecil ditengah hutan Sumatera sana memang sangat membekas. Sebenarnya jam ini kubeli dari pria asli Sunda ini karena selalu melihatnya tiap kali Kang Ujang menyapa setiap kami yang melintas dari rumah sinyal. Jamnya selalu berganti warna, namun modelnya sama. Usut punya usut ternyata Kang Ujang punya toko arloji di bumi Parahyangan sana. Kuamati perlahan jarumnya yang bergerak seolah sangat lambat. Ya entah untuk yang keberapa kalinya. Kereta telat lagi.


Sayup-sayup terdengar suara gurih announcer. Makin lama terdengar makin jernih. Benar-benar berbeda dengan speaker masa lalu yang suaranya seperti kambing sekarat waktu Idul Adha. Ya namun sejernih apapun, alih-alih menenangkan, suara permohonan maaf yang berkumandang di seantero stasiun itu justru semakin memperkeruh suasanya. Rel patah, persinyalan tersambar petir, meja layan kosong. Ah semuanya seolah sudah biasa. Ibarat perasaan, mungkin rel juga lelah diinjak-injak melulu sampai harus patah berulangkali. Mungkin juga harusnya ada yang menemani mejan layan agar dia tidak blank, bengong termangu dalam sepi. Untuk meredakan bayang-bayang SP kedua yang menghantuiku, aku menggulirkan layar handphone ku. Melihat aktivitas dunia luar melalui jendela kecil ini. Hingga tanpa sadar membiarkan jemariku yang sudah lama tidak digenggam perempuan ini menulis sepatah dua kata. Masuk kedalam dunia imajinasi ku. Sisi terbebas yang tidak mungkin ada yang dapat menjangkaunya. Ya kalaupun ada yang menjangkaunya, dia pasti tersesat dan tak tau arah jalan pulang seperti lirik lagu hits yang kerap dinyanyikan pengamen di KRL ekonomi dulu. Ya itu dulu, sekarang semua berubah. Sampai sejauh mana perubahan itu. Tidak ada yang tahu pasti. Banyak yang dirindukan, namun kerinduan akan perubahan yang lebih baik jelas jauh lebih menggiurkan ketimbang kerinduan akan alunan syahdu biduan dengan speaker cempreng di pinggang. Atau rasa kangen sentuhan hangat ijuk sapu para bocah yang menyapu lantai kereta dan membuang sampahnya disepanjang rel. Entah apakah pernah salah satu sampah itu mengenai para pengendara motor yang menunggu dibelakang palang kereta. Ah kalaupun kena, aku harap salah satu dari korbanya adalah mantan ku itu. Mantan yang meninggalkan ku dengan alasan karena aku terlalu baik. Mungkin sama baiknya dengan lokomotif cagar budaya yang terbujur kaku dimakan karat tanpa pernah menuntut masuk museum. Yah itulah khayalan. Mengkhayalkan tentang berbagai hal di perkeretaapian tanah air. Khayalan yang jauh, jauh sekali melampui masa yang sekarang ini. Khayalan dimana ada kereta wisata, dan para penikmat kereta seperti aku ini bisa bebas mengeksplorasi potensi keindahan para ular besi.


"Karcis."

Aku tersentak dari lamunanku. Sekilas tampak telapak tangan menepuk bahuku perlahan. Aku mencoba memfokuskan pandangan ku. Entah sejak kapan aku ada di dalam kereta. Mungkin aku terlalu lama bermain di istana khayalanku. Nampak sesosok pria tinggi dengan balutan seragam khas pegawai kereta api berdiri di depan ku dengan senyum seadanya.

"Karcis," ulangnya sambil mencepit-cepitkan pembolong kertas ditanganya dengan tidak sabaran.

Ah, andai saja dia membangunkan ku lebih sopan, gumamku seraya merogoh saku kemeja. Sedetik kemudian, tiket karton nan tebal yang kutebus dengan uang kucel Rp2.000,- rupiah itu kembali ke tanganku. Sebuah lubang tidak beraturan menganga di tengahnya. Aku sedikit membayangkan bagaimana ia melubangi ratusan tiket setiap harinya, berjalan dari ujung satu ke ujung lainnya. Ingin rasanya aku menyapanya sekali saja. Menanyakan apa kabarnya, bagaimana harinya, apakah dia punya anak gadis yang belum menikah. Atau sekedar bertanya apakah kakinya tidak pernah menyenggol penumpang yang selonjoran di lantai kereta. Apakah kemeja putih R6nya itu pernah berubah jadi hitam karena ketumpahan kopi panas para bapak-bapak di seberang tempat duduk ku yang selalu terlihat menahan kantuk itu. Atau barangkali lebih konyol lagi, apa tipsnya sehingga ia tidak pernah menyenggol wadah sambal kacang ibu-ibu penjual pecel di bordes kereta. Karena jujur saja, itu seperti rutinitas yang kulakukan nyaris tiap pagi.

"Mas, silahkan tempel lagi."

Aku tersentak. Ah, sekali lagi aku melamun. Dengan cepat aku menempelkan kartu di tanganku. Saat melewati palang gate, sekilas aku melihat antrian panjang dibelakangku yang mengular dengan masing-masing memasang raut wajah menahan marah. Entah sudah berapa menit aku tenggelam dalam nostalgia kereta tahun 2000-an. Namun yang pasti sebentar lagi aku sudah viral di media sosial.

"KETERLALUAN!!! Pemuda ini sengaja berlama-lama di gate in sehingga membuat antrian."

"Ibu hamil ini terpaksa berdiri lama di gate stasiun. Alasannya mengejutkan!!!"

Tentu saja lengkap dengan foto diriku berdiri termangu didepan gate seperti orang bodoh.

Terkadang media memang mudah menyihir opini publik. Sama seperti masinis dan asisten nya yang dengan mudah menyihir ratusan penumpang dengan ayunan limbung gerbong kereta yang bergoyang diseret lokomotif. Lokomotif yang menggeram sepanjang hari, berlari melahap rakus lintasan dihadapan nya. Mungkin di masa depan, sihir itu perlahan akan menghilang. Tidak ada lagi suara berisik jalanan, sambungan kereta yang berderak parau, atau guncangan bogie kereta yang kasar. Ya mungkin kedua sihir itu, sihir media dan sihir joki lokomotif, kelak akan musnah. Anak-anak tidak akan lagi membaca artikel yang tidak memperdulikan etika jurnalistik diatas kereta goyang nan berisik.

"Yang penting judulnya bombastis, mengandung kata provokatif dan oh iya jangan lupa tambahkan tanda seru secukupnya," celoteh burung gereja di pinggir peron.

Ah benar juga usulnya, batinku seraya menatap sayap kecilnya yang kini sibuk berkepak membawanya berpindah ke bantalan kayu yang mulai lapuk. Sorot matanya nampak sayu. Memandangi tumpukan bantalan beton laksana gunung Lawu di seberang sana. Gunung yang jadi nama salah satu KA Argo di Jawa. Aku tidak pernah menaikinya, namun seringkali keretaku tertahan karena bersilang denganya. Bahkan pernah juga sekali waktu aku sampai sempat mandi di toilet stasiun, saking lamanya kereta ditahan menunggu disusul olehnya. Semoga di masa mendatang, seluruh rel sudah menggandakan diri, tidak ada silang susul. Kalau perlu di Sumatera pun dibuat kereta Argo seperti di Jawa.

Aku kembali mengarahkan pandangan ke si burung gereja yang mematuk tak karuan seolah meratapi bantalan kayu kesukaannya mulai berganti.

"Mungkin malah jadi bantalan plastik," cetusku menertawakan kekhawatiran di matanya.

Senja mulai merayap. Sayup-sayup suling lokomotif kereta-kereta bergelar Senja pun mulai bergema. Bagi mereka sekaranglah waktunya bekerja. Entah kereta Senja yang benar-benar berangkat senja, atau hanya penamaan seperti hilang identitas.

Aku melirik jam tua stasiun yang tergantung sendirian. Rekan-rekanya mungkin sudah berakhir di gudang atau diloak. Ah sudahlah, lebih baik aku kembali menulis. Kembali memikirkan jika aku menulis artikel, apa judul artikel itu? Apakah sebaiknya aku mengikuti saran burung gereja malang itu? Atau sebaiknya tidak?

Entah mengapa perlahan aku malah memikirkan nasibnya. Sebersit rasa kasihan terselip di hati. Tadi itu pastilah rayap bantalan kayu terakhirnya. Esok semua kayu tua ini niscaya sudah berganti.

"Sudah ikuti saja," bisik lokomotif langsir tua di jalur dua tiba-tiba. Aku tidak ingat entah sejak kapan dia ada disana. Plat karatan bertuliskan BB30001 menghiasi badan putih dengan strip oranye-nya. Aku tersenyum simpul membalas sorot bersahabat lampu pudarnya itu. Dalam hati aku sebenarnya tidak mau mengikuti saran si burung gereja, nanti traffic blog-ku pasti naik drastis seperti harga tiket Gajayana di musim liburan.

-Artikel ini ditulis untuk mengikuti lomba Kereta Api di Masa Mendatang.

Artikel Lainya:

2 comments:

Sampaikan komentar anda disini. No SARA & Rasis. Terimakasih